Terorisme di Selandia Baru

Selandia Baru Telah Hapus Hukuman Mati, Teroris Brenton Tarrant Tetap Terancam Hukuman Terberat

Dakwaan pembunuhan saja bisa membuatnya mendekam seumur hidup di penjara, belum jika ditambah dakwaan kasus terorisme.

Editor: Faisal Zamzami
POOL New via Sky News
Brenton Tarrant ketika dihadirkan di pengadilan Sabtu (16/3/2019). Tarrant dikenai dakwaan pembunuhan kepada jemaah Masjid Al Noor dan Linwood ketika Shalat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (15/3/2019). Wajahnya diburamkan untuk mempertahankan haknya mendapat persidangan yang adil. (POOL New via Sky News) 

SERAMBINEWS.COM, WELLINGTON - Teroris pelaku penembakan masjid di Selandia Baru, Brenton Tarrant menghadapi hukuman yang belum pernah dijatuhkan di negeri itu.

Dakwaan pembunuhan saja bisa membuatnya mendekam seumur hidup di penjara, belum jika ditambah dakwaan kasus terorisme.

Pria berusia 28 tahun itu sudah dijerat dakwaan pembunuhan terkait pembantaian 50 orang di dua masjid di kota Christchurch pekan lalu.

Di Selandia Baru, jika seseorang terbukti melakukan pembunuhan biasanya mereka akan dijatuhi hukuman penjara minimal 10 tahun sebelum mendapat pembebasan bersyarat.

Namun, para pakar hukum menilai kejahatan yang dilakukan Tarrant begitu ekstrem sehingga hakim bisa saja menjatuhkan hukuman terberat sejak negeri itu menghapus hukuman mati pada 1961.

"Dia kemungkinan akan dijatuhi hukuman penjara dalam waktu panjang tanpa kemungkinan bebas bersyarat. Ini adalah kemungkinan terbesar," kata pengacara Simon Cullen kepada AFP.

Cullen menambahkan, hukuman yang akan dijatuhkan kepada Tarrant itu kemungkinanbelum pernah dijatuhkan kepada siapa pun di Selandia Baru

. "Level kejahatan yang dilakukannya bisa menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman semacam itu," tambah Cullen.

Sejauh ini, hukuman penjara terberat yang pernah dijatuhkan di Selandia Baru adalah pada 2001 ketika William Bell, pelaku tiga pembunuhan, dihukum 30 tahun penjara.

Sementara itu, pakar ilmu kriminal dari Universitas Auckland Bill Hodge mengatakan, meski PM Jacinda Ardern sudah menyatakan kejahatan ini adalah sebuah aksi terorisme, agaknya jaksa tidak akan menggunakanundang-undang anti-terorisme.

Undang-undang Pemberantasan Terorisme diterbitkan pada 2002 setelah tragedi 11 September dan sejak itu belum pernah digunakan di pengadilan.

"Kami belum menggunakan undang-undang itu dan undang-undang tersebut dirancang untuk menuntut mereka yang terlibat dalam kelompok teror, mendanai, dan mempublikasikannya," ujar Hodge.

"Saya kira tak ada alasan untuk menggunakan undang-undang ini di saat undang-undang kriminal berfungsi dengan sempurna dan mudah dipahami," tambah dia.

Hodge menambahkan, jika undang-undang anti-terorisme digunakan maka dikhawatirkan akan memperpanjang proses pengadilan khususnya saat banding.

"Undang-undang ini belum pernah diuji dalam prosedur banding," tambah Hodge.

Di sisi lain, meski korban kejahatan Tarrant mencapai 50 orang tewas, polisi sejauh ini baru menjerat pria itu dengan satu dakwaan pembunuhan.

Pelaku Tak Alami Gangguan Mental

Pria tersangka pelaku teror penembakan di Selandia Baru dipastikan tidak mengalami gangguan mental dan menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Brenton Tarrant (28), warga Australia, yang ditangkap polisi Selandia Baru tak lama setelah melancarkan serangan di masjid kedua, juga memutuskan untuk mewakili dirinya sendiri dalam persidangan dan menolak didampingi pengacara.

"Dia ingin mewakili dirinya sendiri dalam kasus ini," kata pengacara tugas, Richard Peters, yang sempat mewakili tersangka selama persidangan pengadilan pendahuluan yang digelar Sabtu (16/3/2019) lalu.

Ditambahkan Peters, tersangka tampak memahami kasus yang dihadapinya.

 "Cara dia memaparkan alasannya cukup rasional dan seseorang yang tidak menderita cacat mental. Terlihat seperti itu. Dia tampaknya mengerti apa yang sedang terjadi," kata Peters, kepada AFP, Senin (18/3/2019).

Pernyataan Peters sekaligus mengecilkan dugaan bahwa tersangka kemungkinan tidak layak untuk diadili, berkenaan dengan kondisi kejiwaannya.

Serangan teror penembakan terjadi di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat (15/3/2019) siang, menewaskan 50 orang dan melukai 50 lainnya.

Insiden terjadi di dua masjid, yakni masjid Al Noor dan masjid Linwood, yang berjarak sekitar lima kilometer satu sama lain.

Tersangka, Brenton Tarrant, ditangkap tak lama setelah melancarkan aksi di lokasi kedua dan telah dihadirkan dalam sidang pendahuluan sehari kemudian di Pengadilan Distrik Christchurch.

Tersangka didakwa dengan satu tuduhan pembunuhan dan diyakini akan bertambah seiring berjalannya persidangan.

Dia kini ditahan di Pengadilan Distrik Christchurch sampai sidang berikutnya yang dijadwalkan pada 5 April.

Baca: Enam Wilayah di Provinsi Aceh Diperkirakan Hujan Selama Tiga Hari

Baca: Antisipasi Gugatan Hukum Terkait Pemilu, KIP dan Kejari Aceh Selatan Jalin Kerja Sama

Baca: Hendri Yuzal Staf Khusus Gubernur Aceh Cabut BAP Terkait Perintah Irwandi Yusuf soal Fee Proyek

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Teroris Penembak Masjid Terancam Hukuman Terberat di Selandia Baru"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved