Balai Bahasa
Program Aceh Caröng, Bahasa Bangai
Pemerintah Aceh yang dipimpin Irwandi-Nova (kini PLT Nova Iriansyah) telah lama mengusung slogan
Karena di Aceh terdapat juga berbagai bahasa daerah, sepertiGayo, Jamee, Tamiang, dan lain-lain, maka perlu dipikirkan apakah perlu membuat kurikulum bahasa daerah menurut bahasa dominan di daerah masing-masing. Bisa juga dibuat sejumlah pilihan bagi daerahdaerah yang penduduknya menggunakan multi bahasa. Anak-anak bisa memilih untuk belajar bahasa daerah yang disukainya.Melihat kondisi penggunaan bahasa Aceh yang terus tergerus dan hanya tersisa pada bahasa bicara (spoken language) saja, perlu ditindaklanjuti dengan melaksanakan program Peucarong Aceh dengan Bahasa Aceh sesegera mungkin.
Buku-buku bahasa daerah juga perlu digalakkan penulisannya dan perlu seminar untuk mendiskusikan standarisasi penulisannya. Apalagi selama ini, buku-buku tentang tata bahasa bahasa-bahasa di Aceh sangat sulit ditemukan. Perguruan tinggi di Aceh selama ini pun belum tertarik untuk membuka program bahasa Aceh, yang berbeda dengan perguruan tinggi di Pulau Jawa yang berani membuka jurusan Bahasa dan Sastra Jawa dan jurusan Bahasa dan Sastra Sunda. Diakui atau tidak, ini adaah bentuk pengabaian bersama terhadap bahasa sendiri.
Tindakan-tindakan konservatif ini termasuk bagian dari upaya pemerintah untuk menyelamatkan bahasa Aceh dari kepunahan. Bukan saja kepunahan dalam bentuk ketidakmampuan menulis, tetapi juga kemampuan untuk memahami tata bahasanya dengan baik. Kebanyakan pelajar bahasa selama ini sudah sangat mahir dengan tata bahasa lain, seperti tata bahasa Indonesia, tata bahasa Inggris, tata bahasa Cina, tata bahasa Arab dan lain-lain, tetapi tak memahami tata bahasa ibu (mother tongue) sendiri. Jika dipikirkan, sungguh ini suatu yang ironis, bangai dengan bahasa sendiri.