Sofyan Djalil: Penting Sekali Memilih Pemimpin yang Tepat
Sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang merangkap Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan kini satu-satunya putra Aceh
Kita cari orang-orang terbaik di pasar untuk menjadi direksi, menjadi direktur BUMN tergantung apa tantangan yang dihadapi BUMN. Pendeknya, jangan sampai terjadi distorsi karena tidak kompetensinya manajemen dan yang kedua agar profesional itu nyaman bekerja, maka saya harus mencegah manajemen BUMN dari intervensi politik. Nah, saya merasa sudah meninggalkan beberapa legacy di BUMN.
Apa di antara legacy itu?
Di antaranya saya menemukan Jonan untuk kita tunjuk membereskan PT Keretapi. Jonan itu mantan bankir, tapi orangnya tegas dan sangat dedicated. Dia berbenah dengan cepat. Alhasil, kalau dulu di kereta api ramai orang yang naik ke atas atap, tapi kini alhamdulillah kereta api kita sudah tertib, sudah standar internasionallah.
Kemudian, saya menemukan RJ Lino, orang Ambon, untuk membereskan Pelindo II, dan itu pun menjadi standar sekarang, meskipun di ujung kariernya dia itu jadi korban... Kita juga lakukan restrukturisasi Garuda dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Intinya pada masa saya itu adalah kita menarik sebanyak-banyaknya orang profesional dari pasar untuk menjadi eksekutif di BUMN. Banyak kali perubahan yang terjadi pada saat itu, terutama dalam perubahan kultur kerja yang diapresiasi banyak pihak.
Anda pernah jadi menteri di masa SBY maupun Jokowi. Apa beda utama gaya kepemimpinan mereka?
Hahaha, nggak enak saya bikin bandingan terhadap mantan atasan dan atasan saya saat ini. Cuma satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa kita di negeri ini terlalu banyak pekerjaan itu seperti silo-silo, di dalam kotak-kotak. Sektoral. Kementerian Perdagangan sendiri, Kementerian Perindustrian sendiri. Banyak sekali pekerjaan antarkementerian. Itulah yang perlu dikoordinasi oleh Menko Perekonomian, seperti pernah saya lakukan saat satu tahun menjadi Menko. Jadi, ini persoalan yang paling mendasar dalam pola manajemen pemerintah. Pada setiap lini itu ada silo-silo, terkotak-kotak. Nah, silo-silo itu menyebabkan banyak keputusan menjadi lamban sekali eksekusinya dan banyak investasi yang tidak optimum.
Apa contohnya?
Misalnya,yang bikin waduk PU, yang cetak sawah Kementerian Pertanian. Nanti kadang-kadang realitasnya waduk di mana, sawahnya di mana? Tidak sinkron. Contoh lain, yang bikin pelabuhan pihak Perhubungan, yang bikin jalan PU. Pelabuhan jadi, jalan juga jadi. Tapi pelabuhan dengan jalan tidak nyambung. Itu akibat dari silo, karena egosektoral. Silo-silo itu adalah musuh dari manajemen di semua lini. Nah, pemerintah sekarang, Pak Jokowi, sudah mengidentifikasi semua itu. Jadi, kalau Pak Jokowi terpilih lagi akan ada reformasi birokrasi yang luar biasa substansial.
Saat di Bappenas, apa prestasi terpenting Anda?
Waktu saya di Bappenas, kita menyusun APBN 2017 dengan pendekata baru, yakni pendekatan holistic, integrative, thematic, dan spacial (HITS). Jadi, kalau misalnya mencetak sawah haruslah yang ada irigasinya dan alokasi dana harus diplot untuk waduk, irigasi primer, dan sekunder sehingga terintegasi. Dengan demikian, akan mengurangi dampak dari silo tadi. Dan itu menjadi model alokasi anggaran pada tahun 2017 dan seterusnya. Sekarang sudah mengikuti pola tersebut.
Jadi memang akhirnya ini bagian dari reformasi birokrasi yang terus menjadi concern di berbagai belahan dunia. Kalau di Indonesia, Pak Jokowi sangat mengerti tentang ini. Beliau pernah jadi wali kota, jadi gubernur, dan sekarang presiden. Pak Jokowi juga sangat yakin negara kita akan menjadi negara maju asalkan kita benahi bersama tiga hal.
Apa saja itu?
Yang pertama, kita bereskan infrastruktur. Semua infrastuktur kita sangat costly sekarang ini. Biaya logistiknya 24 persen. Begitu mahal. Terus yang kedua, tingkatkan kualitas SDM. SDM kita potensi besar kan? Tapi kalau mereka tak punya skills. Kemudian benahi sistem pendidikan dan alokasi budget walaupun alokasi budget tidak menjamin kualitas SDM. Yang ketiga adalah kelembagaan, apakah kelembagaan pendidikan, birokrasi, dan kelembagaan dalam arti yang luas. Nah, kalau tiga hal ini bisa kita bereskan maka Indonesia insyaallah akan menjadi negara yang besar. Pak Jokowi punya keyakinan seperti itu.
Setahu Anda, seperti apa cara pandang Pak Jokowi terhadap nasib bangsa ini?
Beliau sering katakan, negara yang akan memenangkan kompetisi di era global bukanlah negara besar atau negara kecil, juga bukan negara yang kaya resource atau yang miskin resource, tapi lebih kepada negara cepatlah yang akan lebih maju dibandingkan dengan negara lamban.
‘Negara cepat’ yang dimaksud, dalam hal apa konkretnya?
Ya, cepat tanggap merespons perkembangan zaman. Iklim investasi kita perbaiki, karena dunia sekarang bersaing betul antara satu dengan yang lain. Kalau kita lihat, misalnya mengapa investasi di suatu daerah tidak berkembang, itu salah satu sebab masalahnya. Kenapa daerah lain berkembang sekali. Misalnya saja Banyuwangi. Dulu hampir tak pernah kita dengar nama ini. Tapi begitu ada Bupati Azwar Anas yang kreatif, eh, Banyuwangi menjadi pembicaraan semua orang. Begitu juga Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan. Who knows Bantaeng? Bupatinya hebat, Nurdin Abdullah, profesor dari Unhas. Dia sangat kreatif dan Bantaeng begitu terkenal. Masyarakat suka dia dan mengapresiasinya sehingga ia terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Selatan.
Solo juga punya cerita, mengapa Pak Jokowi menonjol sekali menjadi wali kota? Ya karena itu, warga mengapresiasi dan beliau kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Jadi, kuncinya adalah kreativitas. Added value yang harus kita ciptakan setiap saat. Di Aceh pun dulu ada wali kota yang sekreatif ini, yakni Mawardy Nurdin. Banyak yang dia reform. Oleh sebab itu, leader makes a different. Maka dalam konteks negara, penting sekali kita memilih pemimpin yang tepat.
Kalau salah memilih, apa implikasinya?
Kalau kita salah memilih pemimpin, maka itu bisa merupakan loss period. Nah, sekarang ini banyak sekali kota-kota dan kabupaten yang bersaing satu sama lain di bawah kepemimpinan kepala daerah yang kreatif. Oleh sebab itu saya yakin, dan sejarah menujukkan, leader makes a difference. Mengapa ini penting, konteksnya adalah dalam pemilihan presiden nanti. Orang cerdas akan memilih pemimpin yang sudah punya track record. Dan track record yang kita yakini bahwa orang ini… jangan coba-cobalah gitu ya, karena terlalu besar cost-nya bagi bangsa ini.
Jadi, leadership ya kunci suksesnya?
Ya, leadership itulah yang paling penting, supaya kendala-kendala itu bisa diatasi. Jadi, kembali lagi kepada yang tadi saya katakan bahwa leader makes a difference. Kreativitas leader, kemampuan persuasif di semua lini dan di semua institusi. Apa pun, kalau leader-nya bagus ya akan berhasil. Contohnya Jonan, kok bisa kereta api dibereskan, ya itu karena dirutnya yang bener gitu lho. Itu cuma satu contoh kecil. Banyuwangi tadi sudah kita sebut. Dan banyak lagi sekarang nih daerah-daerah yang menonjol sekali. Jokowi, waktu dia Wali Kota Solo, itu berarti dirutnya yang bener gitu lho. Kota yang no where tiba-tiba menjadi kota yang menonjol. Kemudian, masyarakat Indonesia di mana pun sekarang masih mengapresiasi prestasi. Di mana pun masyarakat modern masih mengapresiasi prestasi. Ini juga yang bisa menjelaskan mengapa Erdogan bisa jadi Presiden Turki.
Apa tanggapan Anda tentang pilpres kali ini?
Kembali ke konteks pilpres kali ini saya pikir ya ada istilah orang pajak bahwa orang bijak bayar pajak. Nah, dalam konteks ini saya mau bilang: orang bijak pilihlah pimpinan yang benar. Sebab, pemimpin itu adalah megadifference. Jangan kemudian coba-coba, iya kan? Apalagi, misalnya memilih orang-orang yang track record dan pengalamannya itu bisa menjadi indikasi bahwa dia akan menjadi pemimpin yang berhasil atau sebaliknya.
Anda punya catatan khusus tentang kepemimpinan Jokowi?
Sekarang saya ingin cerita tentang leadership Pak Jokowi. Nah, Jokowi ini sangat decisive, berani membuat keputusan karena dia yakin keputusan yang salah lebih baik daripada tidak bikin keputusan. Keputusan yang salah bisa kita koreksi. Tapi kalau tidak keputusan kita tidak pernah tahu ada masalah. Terus kemudian, orangnya sangat tegas. Yang namanya presiden harusnya ya begitu. Seharusnya gubernur pun begitu. Lalu, pilih pembantu yang bagus dan kompeten, berikan tugas. Waktu saya jadi Menteri Agraria, Pak Jokowi tanya ke saya: Pak Sofyan berapa selama ini sertifikat siap satu tahun? Saya jawab 500.000-800.000. ‘Saya ingin 5 juta. Saya nggak tahu bagaimana caranya. Dan itu bukan tugas saya, itu tugas menteri,’ kata Pak Jokowi.