Sofyan Djalil: Penting Sekali Memilih Pemimpin yang Tepat

Sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang merangkap Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan kini satu-satunya putra Aceh

Editor: bakri
kontan.co.id
Sofyan Djalil 

Iya, tugas menteri memang untuk menyelesaikan masalah. Berhasil 5 juta sertifikat, dia minta lagi 7 juta. Target dinaikkan dan target itu dia awasi.

Apa komentar Anda tentang blusukan Jokowi?
Jokowi itu juga grounded, membumi. Pergi ke lapangan, itu blusukan. Itu dia lakukan untuk melihat langsung permasalahan sekaligus untuk menghindari laporan ABS. Dia pernah pergi ke perbatasan. Dia cek pos pelintas batas. Dia datang ke perbatasan Malaysia, perbatasan Papua Nugini, dan perbatasan Timor Leste. Dia complain, pos perbatasan kita kok begini jelek? Setelah itu dia perintahkan perbaiki. Tak perlu biaya banyak kok. Sekarang, setelah dipermak, pos perbatasan itu menjadi kebanggaan WNI. Dan orang-orang dari negara tetangga begitu lihat, wow… pos perbatasan Indonesia. Kalau dulu orang kita foto-foto di pos perbatasan Malaysia, sekarang malah sebaliknya. Bagaimanapun itu kan citra, itu kan wajah bangsa kita.

Selain itu, dalam mengambil keputusan Pak Jokowi itu cepat. Itu contohnya, kereta MRT, subway yang baru diresmikan kemarin, itu sudah direncanakan 27 tahun yang lalu. Tidak ada keputusan. Gubernur silih berganti. Saat Jokowi jadi Gubernur DKI dia putuskan. Alhamduliillah, sekarang sudah berjalan.

Jalan tol juga dibangun cepat di masa Pak Jokowi. Kita membangun jalan tol itu sejak 1977. Progresnya lamban. Sampai Pak Jokowi terpilih jalan tol kita hanya 700 kilometer. Setelah Pak Jokowi jadi presiden, panjang jalan tol kita meningkat pesan. Diperkirakan, sampai akhir masa jabatan Pak Jokowi nanti, jalan tol kita bisa mencapai 2.000-an kilometer.

Tadi Anda sebut Jokowi suka blusukan. Sebagian orang justru mengklaim itu justru pencitraan. Bagaimana sebetulnya?
Oh tidak. Itu bukan pencitraan. Kalau untuk pencitraan ngapain setiap hari blusukan? Dia kan datang ke Aceh, ke Papua misalnya, ya ke mana-mana. Kemudian Pak Jokowi itu masuk ke got untuk melihat langsung apa masalah di sana. Ada prinsip seeing is believing, kita lihat kita percaya. Pak Jokowi menerapkan prinsip itu sehingga ia perlu blusukan. Blusukan itu kan untuk mencegah birokrasi yang suka bikin laporan ABS. Untuk diketahui, blusukan itu capek lo. Pergi ke pematang sawah, ke hutan, di bawah terik matahari. Jadi, kalau hanya sesekali mungkin juga blusukan itu untuk pencitraan. Tapi kalau sudah terus-terusan itu sudah menjadi pola kerja sebetulnya.

Saya punya keyakinan, kalau Jokowi terpilih kembali, maka dalam empat tahun ke depan standar pengelolaan pemerintahan di Indonesia akan sangat meningkat. Logikanya begini, saat dia jadi wali kota standar kerja untuk pelayanan publik sudah dia tingkatkan. Kemudian lebih meningkat lagi standarnya saat dia jadi Gubernur DKI Jakarta. Nah, saat jadi presiden otomatis lebih meningkat kan? Mudah-mudahan, untuk lima tahun ke depan masalah infrastruktur akan tetap merupakan tema sentral, karena infrastruktur di negera kita selama ini sangat rendah.

Dalam pidato Anda sering menyebut Jokowi punya emotional connection dengan Aceh. Apa artinya ini?
Pak Jokowi itu begitu selesai sarjana di UGM, langsung ditugaskan ke Aceh. Pernah tinggal sekitar enam bulan di Lhokseumawe, kemudian dipindahkan ke Bener Meriah. Jadi, etos kerja yang dia pupuk di bangku kuliah, pertama kali diterapkan itu di Aceh. Dalam bahasa Pak Jokowi sendiri sering dia kata, ‘Saya banyak sekali belajar di Aceh. Belajar tentang masalah keberagamaan, belajar tentang kultur yang berbeda, toleransi.’ Kemudian, dia mendapatkan ustaz dan kiai di Aceh, tradisi yang berbeda, bahkan punya orang tua angkat di Bener Meriah. Jadi, totalnya tiga tahunlah Pak Jokowi tinggal di Aceh. Nah, kalau kita pernah tinggal di suatu tempat kita pastilah punya ikatan emosional dan punya kesan tertentu. Dan kesan dia tentang Aceh itu bagus, sehingga beliau sering katakan, ‘Sebagian kehidupan saya ini adalah Aceh’.

Apa dampak positifnya bagi Aceh?
Oleh karenanya, komitmen beliau tentang Aceh ini bagian dari komitmen keindonesiaan beliau. Karena dia tahu keterbatasan infrastruktur di Aceh, kemudian dia rasakan juga bagaimana sulitnya perjalanan dari Bener Meriah ke Lhokseumawe. Pada saat itu juga sudah mulai terjadi konflik. Nah, akumulasi dari semua itu membentuk semacam sense pada diri Pak Jokowi. Seeing is believing, kata orang Inggris. Melihat, memercayai. Kemudian, mengalami maka akan mempunyai impact tertentu. Oleh sebab itu, beliau punya komitmen tersendiri sehingga saat bertemu dengan para bupati/wali kota se-Aceh, Pak Jokowi bilang: Kalau saya kalah di daerah lain saya bisa mengerti. Tapi kalau saya kalah di Aceh, saya sedih. Nah, mungkin itu persoalan feeling ya, soal perasaan.

Jadi, itu yang menyebabkan, waktu misalnya, tentang DOKA, secara terbuka beberapa kali Presiden menyatakan lanjutan DOKA itu akan dia perjuangkan. Kenapa? Karena, Aceh barangkali masih membutuhkan dana tersebut sebagai bagian dari skema perdamaian atau untuk mendukung pembangunan infrastruktur Aceh yang begitu tertinggal dan terlupakan akibat konflik. Jadi, perlu ada extra effort (usaha ekstra). Dana itu untuk mem-push, walaupun kita tahu bahwa uang itu bukan segalanya. Kreativitas dan leadership di daerah ini menjadi sangat penting. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved