Jurnalisme Warga

Batee Iliek, Benteng Terakhir Aceh Melawan Belanda

SAMALANGA adalah kecamatan pertama yang dilalui dari arah Kabupaten Pidie Jaya ketika memasuki Kabupaten Bireuen

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Batee Iliek, Benteng Terakhir Aceh Melawan Belanda
IST
TEUKU CUT MAHMUD AZIZ, Fil., M.A., Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Almuslim, melaporkan dari Samalanga, Bireuen

OLEH TEUKU CUT MAHMUD AZIZ, Fil., M.A., Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Almuslim, melaporkan dari Samalanga, Bireuen

SAMALANGA adalah kecamatan pertama yang dilalui dari arah Kabupaten Pidie Jaya ketika memasuki Kabupaten Bireuen. Ia merupakan pintu gerbang kabupaten dari arah utara, sedangkan dari arah selatan adalah Kecamatan Gandapura. Kecamatan Samalanga terkenal sebagai kawasan dayah dan santri. Dayah-dayah yang terkenal di sini, antara lain, Dayah MUDI Mesra, bahkan telah berdiri sejak masa Sultan Iskandar Muda dan Dayah Jamiah Al-Aziziyah yang berada di dekat lokasi Makam Keuramat, Teungku Syiek Kuta Glee.

Selain sebagai kawasan dayah dan santri, di kecamatan ini terdapat Makam Tun Sri Lanang, sastrawan besar dunia Melayu, sekelas William Shakespeare.

Samalanga yang asal usulnya dari ungkapan kleung sama bak nga (elang yang menyambar pohon kenanga) memiliki sejumlah objek wisata alam yang terkenal. Salah satunya tempat pemandian Batee Iliek. Tempat pemandian ini berupa aliran sungai bening yang mengalir di celah-celah bebatuan besar (sesuai dengan nama Batee Iliek, batu dengan air mengalir).

Mandi di sana terasa segar dengan sumber air yang berasal dari pegunungan. Setiap hari dikunjungi orang termasuk dari luar Kabupaten Bireuen dan yang paling ramai di hari libur. Keindahan sungainya terlihat jelas dari atas Jembatan Batee Iliek. Udara di sekitar sungai dan lereng bukit terasa sejuk dengan panorama alam yang memesona. Di tengah keindahan alam dan keceriaan orang yang berwisata dan mandi di sana, banyak orang yang tak tahui bahwa pada masa Perang Kolonial Belanda di Aceh, sungai tersebut pernah berubah warna menjadi merah. Warna merah darah tentara kolonial Belanda yang menjadi korban dari pasukan Aceh yang gagah berani.

Gampong yang berada di bantaran Sungai Batee Iliek merupakan benteng terakhir pertahanan Kerajaan Aceh dalam menghadapi gempuran dari pasukan kolonial Belanda. Penaklukan atas daerah ini menjadi akhir dari perang Kolonial Belanda di Aceh yang dimulai tahun 1873 dan berakhir pada 1904. Bukit Kuta Gle yang berada di hulu Sungai Batee Iliek, terlihat dari arah pemandian, menjadi saksi bisu keberanian dan kegigihan rakyat Samalanga dalam mempertahankan daerahnya.

Pasukan Belanda mulai datang ke Samalanga pada tahun 1877 dengan jumlah serdadu sebanyak 1.350 orang. Terdiri atas tiga batalion dan masing-masing batalion terdiri atas tiga kompi dengan jumlah serdadu 450 orang per kompi. Sejumlah alat persenjataan canggih dan kapal didatangkan ke Samalanga seperti Watergeus, Citadel van Antwerpen, Metalen Kulis, dan masih banyak yang lain. Mereka geram dan marah karena rakyat Aceh tak mau menyerah dan terus melakukan perlawanan kepada Pemerintah Kolonial Belanda (Jules Garnier 1887).

Kolonel van Der Heijden diperintah memimpin pasukan untuk menyerang benteng pertahanan di Samalanga. Ia gagal, sampai terluka hingga matanya buta. Belanda mengalami kekalahan telak. Serdadu Belanda yang merayap dan menaiki Bukit Kuta Glee semuanya berjatuhan ke bawah dan tewas bergelimang di Sungai Batee Iliek. Dengan taktik jitu, pasukan Aceh telah menunggu di atas bukit dan menjatuhkan pohon-pohon kelapa yang telah ditebang ke arah serdadu Belanda. Banyak sekali korban jiwa hingga air sungai berubah menjadi merah darah.

Tidak hanya itu, strategi lainnya pasukan Aceh membuat perangkap dengan membuat parit-parit yang di dalamnya dipasangi bambu runcing. Beberapa benteng pertahanan disiapkan. Kala itu pasukan Aceh dipimpin oleh Uleebalang Teuku Chik Raja Bugis dan Pocut Meuligo, adik perempuannya. Luar biasa, seorang perempuan mampu mengobarkan semangat rakyat Samalanga untuk berperang melawan Belanda. Teuku Chik Raja Bugis berdarah Bugis yang datang ke Aceh, awalnya sebagai musafir. Ia dikenal sebagai ahli navigasi juga aktif membantu Kerajaan Aceh berperang di Aceh Besar.

Selain Uleebalang, perjuangan rakyat Samalanga juga dipimpin oleh kelompok ulama karismatik yang mengobarkan Perang Fisabilillah. Salah satunya adalah Teungku Syiek Kuta Gle yang diceritakan dalam sebuah penggalan syair (Umdah.co, 7 Mei 2013):

Teungku Cut Sa’id yang ato prang; Yang ato rakan kameuteuntee
Dalam Kuta Gle that meuceuhu; Yang ato bak u dum meuribee
Dalam Kuta Gle that meusigak; Ateuh seulambak le that guree
Kaphe dum jiplueng keudeh u laot/ Geulet di likot meuree-ree.

(Penggalan Syair Kuta Glee)

Sehubungan dengan kegagalan Kolonel van Der Heijden di Samalanga maka Gubernur Hindia Belanda di Batavia menggantikannya dengan Jenderal van Heutsz pada tahun 1901 sebagai Panglima Tentara Pendudukan di Aceh. Dalam peperangan selama 30 tahun dalam usaha menaklukkan Samalanga, akhirnya di bawah komando Jenderal van Heutsz pada tahun 1904 benteng pertahanan terakhir rakyat Samalanga di Bukit Kuta Glee berhasil ditaklukkan. Setahun sebelumnya, 1903 Sultan Muhamad Daud Syah dan Panglima Polem (anak laki-laki dari Panglima Polem VII alias Cut Banta) telah menyerah pada Belanda (Umdah.co, 7 Mei 2013). Lieutenant-Colonel (ret) R.J.Nix pernah memperlihatkan foto tempo doeloe “Samalanga Expedition 1901” kepada saya yang dimiliki The Foundation Stichting Peutjut-Fonds (Yayasan Dana Peucut), yang memperlihatkan sejumlah tentara Belanda duduk dan berdiri di depan sebuah rumah. Jenderal Van Heutz duduk, kelima dari kiri, sedangkan Snouck Hourgronje di posisi paling kiri. Dalam hati saya, sempat-sempatnya Snouck Hourgronje ikut serta dalam ekspedisi ke Samalanga. Lieutenant-Colonel (ret) R.j. Nix adalah mantan tentara kavaleri (berkuda) Kerajaan Belanda, kelahiran Geumpang, Pidie yang sangat mengagumi kepahlawanan Panglima Polem. Ayahnya, mantan komandan Marsose di Geumpang. Tugas terakhir di Angkatan Darat Kerajaan Belanda sebagai Senior Teacher in Military Operations at the Higher War College of the Dutch Landforces.

Di dekat Jembatan Batee Iliek, di sebelah kiri gapura menuju Dayah Jamiah Al-Aziziyah, terdapat Tugu Perang Batee Iliek “Benteng Batei Ilie (Kota Glee).” Banyak orang yang lalu lalang, tidak mengetahui keberadaan tugu tersebut. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan kalangan akademisi dan peneliti untuk mengembangkan lokasi Batee Iliek menjadi lokasi wisata sejarah kelas dunia. Soalnya, lokasi ini kaya dengan cerita dan peristiwa sejarah perlawanan rakyat Aceh (rakyat Samalanga) dalam melawan kolonial Belanda selama 30 tahun lamanya.

Batee Iliek menjadi benteng terakhir pertahanan rakyat Aceh dari serangan Belanda. Penaklukan Batee Iliek menandakan perhitungan tahun berakhirnya perang antara Aceh dan Belanda (1904), walaupun perlawanan secara gerilya yang dilakukan rakyat Aceh terus berlanjut.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved