Hari Ini 20 Tahun Lalu, Tragedi Peudada Merenggut Nyawa Dokter, dari Sini RSUD dr. Fauziah Bermula
Hari ini, 20 tahun lalu, dua paramedis yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan gugur akibat terkena tembakan.
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
Hari Ini 20 Tahun Lalu, Tragedi Peudada Merenggut Nyawa Tenaga Medis, dari Sini Nama RSUD dr. Fauziah Bermula
SERAMBINEWS.COM - Sebuah peristiwa penting terjadi di Aceh pada tanggal 25 Mei 1999.
Hari ini, 20 tahun lalu, seorang dokter dan paramedis yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan gugur akibat terkena tembakan.
Kedua orang itu adalah dr Fauziah (Kepala Puskesmas Peudada) dan Mustafa (petugas kesehatan).
Saat kejadian, dr Fauziah mengandung bayi berusia 3 bulan.
“Dalam catatan konflik Aceh, khususnya medio 1998-1999, dr. Fauziah dan Mustafa adalah paramedis pertama yang meninggal dalam melaksanakan tugas kemanusiaan,” kata Haekal Afifa, Ketua Institut Peradaban Aceh, kepada Serambinews.com (25/5/2019).
Baca: RSUD dr Fauziah Mulai Layani Pasien Jantung

Haekal mengirimkan sekelumit catatannya atas peristiwa tersebut.
Ia juga mengirimkan beberapa foto serta kliping koran Harian Serambi Indonesia edisi 26 Mei 1999 yang menurunkan laporan tentang peristiwa memilukan itu.
Baca: Relawan Medis Dompet Dhuafa Terluka Saat Kerusuhan, Mobil Pengangkut Logistik Dirusak
Berikut catatan Haekal Afifa.
20 tahun Tragedi Peudada | Doa untuk dr. Fauziah
Ia seakan terlupakan dan dilupakan dalam sejarah konflik Aceh yang berkepanjangan.
Bahkan, ia luput dalam ingatan generasi muda Aceh sekarang.
Padahal ia adalah sosok yang telah mengorbankan nyawanya demi kemanusiaan dan melepaskan umurnya yang masih muda dengan jabang bayi yang masih dikandungnya.
Fauziah, dokter dengan umur begitu muda (30 tahun), anak dari pasangan HM. Daud Ismail dan Nuraini.
Dar kelahiran Medan, Juli 1967 ini menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan tahun 1996.
Setelah lulus, Fauziah langsung dipercayakan sebagai Kepala Puskesmas Kecamatan Peudada, Bireuen, tempat dimana orangtuanya berasal, dengan status Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT).
Semestinya, ia akan mengakhiri status PTT itu pada 1 Agustut 1999.
Namun, takdir lebih dulu mengakhiri hidupnya pada 23 Mei 1999 sebagai pejuang kemanusiaan.
Di kalangan paramedis, ia dikenal apa adanya dan berbicara seperlunya.
Baca: Janda Korban Konflik Terharu, Rumahnya Dikunjungi Bupati Rocky saat Sahur

Pada pagi naas itu, ia terlihat riang dan sedikit berbeda dari biasanya saat dia mendapat panggilan tugas untuk melakukan visum et repertum pada dua jenazah korban penembakan misterius (Petrus) di Alue Kuta, Kecamatan Peudada, Bireuen.
Baginya, kerja melayani kemanusiaan adalah segalanya.
Terbukti, walaupun dalam keadaan hamil dengan usia jabang bayi 3 bulan tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan tugas.
Padahal, itu kehamilan pertamanya setelah ia menikah dengan Drs. Yahya Yusuf pada 6 Februari 1999.
Ia tetap berangkat, ditemani 3 orang perawat dan 1 orang bidan.
Kala itu, beberapa dokter menyesalkan karena rombongan dr. Fauziah tidak dibolehkan memakai mobil ambulans dinas menuju ke lokasi.
Ia "dipaksa" menaiki truk militer Pasukan Penindak Rusuh Massal (PPRM).
Baca: SBY Buka Rahasia Akhiri Konflik Aceh, Begini Kisahnya Menelepon Panglima GAM hingga Tsunami Datang
Baca: SBY: Berdosa Kita Kalau Usai Konflik Aceh tak Sejahtera
Hal ini, memberikan kesan bahwa militer saat itu menjadikan paramedis sebagai tameng.
Dalam perjalanan, truk militer PPRM mogok ditanjakan Alue Kuta.
Dalam kondisi itu, kelompok bersenjata yang disinyalir anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjumlah 20 orang menyerang mereka dari semak belukar sehingga mengakibatkan Serka Hendrik (TNI), Bharada Dominggus (Brimob), dr Fauziah (Dokter) dan Mustafa (Perawat) meninggal dunia.
Belasan lainnya luka-luka.

Baca: Penulis Siti Rahmah Rekam Kisah Konflik Aceh dalam Jejak Setapak di Tanah Rencong
Dalam catatan konflik Aceh khususnya medio 1998-1999, dr. Fauziah dan Mustafa adalah paramedis pertama yang meninggal dalam melaksanakan tugas kemanusiaan.
Insiden ini dikenal dengan Tragedi Peudada.
Dunia kesehatan berkabung.
Banyak pihak berduka, khususnya Korp Kedokteran dan Keperawatan Provinsi Aceh.
40 unit Ambulans berpalang biru dari berbagai Puskesmas di Aceh mengiringi kepergian Fauziah dan Mustafa.
Almarhumah dr. Fauziah dan jabang bayinya dimakamkan disamping pusara orangtuanya (HM. Daud Ismail) di Desa Bugak.
Sedangkan Mustafa disemayamkan di Desa Pulo, Kecamatan Peudada, Bireuen.

Baca: Inspirasi Semasa Meliput Konflik Aceh, Mantan Wartawati Ini Luncurkan Novel Siti Kewe
Baca: KKR dan Harapan Korban Konflik Aceh

Sebagai penghargaan, saat itu Dinas Kesehatan Aceh menabalkan RSUD Bireuen dengan nama Rumah Sakit Umum Daerah dr. Fauziah, hingga sekarang.
Sudah selayaknya, Pemerintah Aceh menjadikan 25 Mei sebagai Hari Kesehatan Daerah Provinsi Aceh.
Dan, sepatutnya Korp Kesehatan-Keperawatan Aceh serta Pemerintah Bireuen hari ini mengibarkan bendera setengah tiang untuk menghormati sebuah nama penuh jejak bertapak yang menjadi simbol manusia untuk kemanusiaan. Al Fatihah.
Baca: Jaringan Aneuk Syuhada Aceh Klaim Hanya Malik Mahmud yang Peduli pada Anak Korban Konflik Aceh
Baca: Presiden Turki Pelajari Perdamaian Konflik Aceh

Sebait Doa untuk para korban Tragedi Peudada
Salam Damai & Kemanusian,
Haekal Afifa | Ketua Institut Peradaban Aceh

