Jurnalisme Warga
Bahasa Singkil yang Mulai Kehilangan Makna
Subulussalam dan Singkil adalah dua daerah yang memiliki banyak persamaan dari segi bahasa adat dan budaya

OLEH MURIZUL QADHI, Anggota Yayasan Pemerhati Kebudayaan Suku Singkil (Yapkessi) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Singkil
Subulussalam dan Singkil adalah dua daerah yang memiliki banyak persamaan dari segi bahasa adat dan budaya. Ya, tentu saja, ini karena wilayah itu dulunya memang satu, lalu pada tanggal 2 Januari 2007 Kota Subulussalam resmi mekar dan pisah dari kabupaten induknya, Aceh Singkil.
Penduduk kedua daerah ini mayoritas menggunakan bahasa Singkil yang penuturnya adalah suku Singkil, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Permendagri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Bahasa Singkil. Namun, sering kali terjadi kesalahpahaman di antara masyarakat Subulussalam dan Singkil mengenai makna serta entitas tentang Singkil. Tak jarang masyarakat Subulussalam dan Singkil menyebut bahwasanya bahasa yang digunakan saat ini adalah bahasa “Kampong” (Kampung) begitu juga dengan suku “suku Kampong” ada yang menyebutnya bahasa Pakpak Boang atau suku Pakpak Boang. Ada juga yang menyebut bahasa ini adalah bahasa “Julu”. Secara harfiah, julu artinya hulu.
Masyarakat Subulussalam atau Singkil menyebut Julu itu biasanya untuk pendatang dari Pakpak Barat yang telah bermigrasi ke Subulussalam atu Singkil, begitu juga penyebutan untuk para pedagang yang berasal dari Pakpak atau dari Dairi Sidikalang, Sumatera Utara. Contohnya “Kalak Julu” = Orang Hulu. Tak sedikit pula orang menyebut bahasa yang digunakan orang Singkil dan Subulussalam itu”bahasa Kade-kade”. Dalam bahasa Indonesia, maknanya adalah “bahasa Apa-apa”. ( Muzir Maha 2019).
Meskipun bahasa Singkil memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Kluet, dan Alas, tapi bukanlah berarti sama semua. Persamaan dan perbedaan itu dapat disimak pada contoh empat kosakata berikut ini.
1) Makan, bahasa Singkil mangan; Kluet mangan; Pakpak mangan.
2) Mandi, bahasa Singkil mekhidi; Kluet meridi; Pakpak meridi.
3) Jelek, bahasa Singkil tengam; Kluet macik; Pakpak meroha.
4) Kapan, bahasa Singkil digan; Kluet pigan; Pakpak dahari.
Banyak kosakata lain yang memiliki kemiripan, tapi beda dalam dialek. Jadi, jika ada yang menyatakan masyarakat Subulussalam-Singkil itu suku Pakpak, maka itu salah besar, sebab secara autentik tak ada fakta sejarah yang menunjukkan keberadaan suku Pakpak dahulu kala di daerah Subulussalam-Singkil. Tidak ada patung atau rumah yang berkaitan dengan suku yang memiliki kemiripan tersebut. Jika orang Pakpak berasimilasi menjadi orang Singkil itu bisa jadi atau pun karena berimigrasi ke wilayah SIngkil.
Maka melalui kesempatan ini saya ingin mempertegas makna Singkil serta kosakata yang mulai jarang digunakan, bahkan terancam hilang dari peredaran sejarah. Banyak artikulasi yang salah diartikan pada masyarakat kita, sehingga keterbauran dengan bahasa warga pendatang, bisa saja disebabkan keterikutan dialek. Contoh, dalam bahasa Singkil sebenarnya tak ada kata bantu “we”, tapi saat ini sudah sering orang Singkil menggunakan “we” untuk frasa “Aitah we” orang Singkil biasanya menggunakan “Aitah be”.
Kemudian kata “Njuah-njuah” yang sering digunakan dalam bahasa Pakpak saat mengakhiri atau memulai percakapan/pidato yang artinya (sehatlah selalu). Tapi di Subulusalam dan Singkil sudah sering kita dengar kata ini digunakan. Sebenarnya, dalam bahasa Singkil tidak ada pemakaian njuah-njuah saat pembukaan atau penutup percakapan, karena Singkil kuat basis Islamnya, sehingga pada acara pembuka wicara yang lebih sering digunakan justru asalamualaikum dan ditutup dengan wasalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Penyebutan njuah dalam bahasa Singkil hanya digunakan untuk “luka”, terkecuali orang melahirkan, karena dalam bahasa Singkil seorang ibu yang sedang bersalin biasa disebutkan njuah. Misalnya, “Enggo njuah kalak sapomu du?” (Sudah sehat orang rumahmu ya?)
Kemudian ada lagi kata “pa’en” (kemari). Sebenarnya orang Singkil dahulu untuk mengatakan kemari itu “mi henda” (kemari). Jadi, jika kita ulas lebih jauh banyak sekali kosakata bahasa Singkil yang mulai hilang dan jarang digunakan oleh penuturnya yang memang tak terlalu banyak dibandingkan dengan penutur bahasa Jamee, misalnya.
Ada yang mengatakan orang Singkil itu adalah Pakpak, karena kemiripan marga. Marga itu bisa saja sama, karena marga tak bisa menunjukkan identitas suku secara utuh. Contohnya, marga Munthe di Alas, mereka tak mau dikatakan orang Singkil atau Pakpak. Begitu juga marga Lingga di Subulusalam mereka ogah disebut orang Karo. Persamaan marga ini hanyalah karena kedudukan sebagai etnis serumpun.
Sejauh yang saya amati, makna Singkil kini memang mulai menyempit, hanya dipahami sekadar nama kecamatan dan ibu kota Kabupaten Aceh Singkil. Sejatinya, Singkil itu entitas kebudayaan suku bangsa, include di dalamnya adat, suku, bahasa, dan budaya yang disebut dengan Singkil.
Kebiasaan yang keliru ini ternyata bukan hanya terjadi di Singkil, tetapi sering juga kita dengar di tempat lain. Misalnya, ada orang yang menyebut bahasa Jakarta, padahal maksudnya bahasa Betawi. Ada juga yang menyebut bahasa Padang, padahal maksudnya bahasa Minangkabau.
Saya ingin memberikan sebuah amsal yang saya kutip dari buku H. A. Aslym Combih, MSi, PIA berjudul “Kajian Sejarah Suku Singkil”. Ada cerita bahwa dahulu seseorang dari Aceh yang hendak pergi ke Jakarta atau Bandung sering kali ketika ditanya: Hendak ke mana kamu? Dijawabnya, Hendak ke Jawa. Lalu saat berada di Bandung, ia dengar kebiasaan orang Sunda jika mau berangkat ke Solo, Semarang, atau Yogyakarta, si orang Sunda di Bandung itu menyatakan, “Hendak berangkat ke Jawa.” Ini membuat pelancong asal Aceh tadi terheran-heran. Nah, sebetulnya, Jawa itulah adalah suku dan nama Jawa dilabelkan menjadi nama sebuah pulau. Artinya, mereka mampu memisahkan dan memahami makna tersebut. Kekeliruan seperti ini banyak orang yang tak peduli, sehingga kekeliruan itu menjadi hal yang biasa. Padahal, contoh-contoh di atas dapat menimbulkan kerancuan di masa mendatang.