Sosok
Kisah Hidup Saimun “BTL”, Relawan RAPI yang Kini Jadi Pengelola Ambulans Jenazah
Saimun adalah anggota RAPI pengguna callsign JZ01BTL, karenanya di kalangan warga RAPI, dia juga akrab dipanggil BTL (singkatan dari suffix callsign-n
Penulis: Nasir Nurdin | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Nasir Nurdin | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - “Semangat kerelawanan untuk kemanusiaan tak pernah mati.”
Kata-kata bijak itu selalu diingat dan berusaha terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh Saimun, laki-laki kelahiran Alueiet, sebuah desa di Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen pada 10 Maret 1984.
Perjalanan hidup Saimun penuh warna, setidaknya begitulah yang terekam ketika bincang-bincang dengan Serambinews.com sambil ngopi bareng dengan sejumlah relawan komunikasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) di kawasan Peunayong, Banda Aceh menjelang subuh beberapa hari lalu.
Saimun adalah anggota RAPI pengguna callsign JZ01BTL, karenanya di kalangan warga RAPI, dia juga akrab dipanggil BTL (singkatan dari suffix callsign-nya).
Baca: Puluhan Guru SMA di Aceh Dilatih Teknologi Informasi dan Komunikasi
Baca: Gempa Hari Ini - 19 Kali Gempa Susulan Guncang Maluku Utara dalam 2 Jam Setelah Gempa 7,2 M
Baca: Lagi, TKW Asal Aceh Meninggal di Malaysia
Saimun bergabung di RAPI sejak 2013 dan pernah menjabat sebagai Ketua RAPI Kecamatan Kuta Alam, Wilayah Kota Banda Aceh periode 2015-2018.
Dia kini juga sebagai Ketua Pemuda Gampong Peunayong.
“Organisasi RAPI telah mengajarkan saya tentang nilai-nilai sosial dan kemanusiaan,” ujar ayah dua anak hasil pernikahannya dengan Salmawati, perempuan asal Kecamatan Peusangan, Bireuen.
Saimun ‘hijrah’ ke Banda Aceh pada 2001 meninggalkan kampung halamannya di Alueiet, sebuah kawasan pedalaman di Bireuen akibat kecamuk konflik.
Petualangan Saimun pada awal-awal merantau di Banda Aceh berlangsung keras. Dia pernah jadi pemulung dan kuli bangunan.
Bahkan pada 2002 dia melanjutkan petualangan ke Calang, Aceh Jaya dan tinggal di kawasan Batee Tutong, berbaur bersama masyarakat setempat yang mayoritas nelayan.
Ternyata, konflik yang terus berkecamuk membuat Saimun berada di antara hidup dan mati.
Beberapa kali dia terjebak dalam kontak tembak di Batee Tutong.
“Alhamdulillah, dalam beberapa kali kontak tembak saya lepas dari maut,” kenang Saimun.
Pada 2003 Saimun memutuskan kembali ke Banda Aceh. Dia menggunakan jalur laut dengan menumpang sebuah boat nelayan yang akan naik dok di Banda Aceh.
Perjalanan penuh tantangan dan dramatis.
Sekembali ke Banda Aceh, Saimun memulai lagi kisah perjuangan hidupnya.
Dia bekerja di Warung Sate Matang De’Wan, kawasan REX Peunayong.
Kerja di Warung Sate De’Wan terbatas pada sore hingga malam hari.
Makanya, ba’da subuh, Saimun melakoni kerja tambahan sebagai loper koran Serambi di kawasan sekitar lampu merah Simpang Empat Jam.
“Setelah jualan koran dari jam 6 sampai jam 8, saya masuk Pasar Aceh jadi pedagang rokok asongan. Menjelang sore saya masuk kerja sebagai karyawan Sate Matang De’Wan. Begitu seterusnya,” ujar BTL.
Bencana tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 membuat semuanya berubah, termasuk jalan hidup Saimun.
Pascatsunami, ketika berbagai lembaga donor membantu Aceh, Saimun ikut bergabung sebagai relawan ‘SCTV Peduli’ selama lebih kurang tiga bulan.
Termotivasi untuk bisa hidup mandiri, Saimun memutuskan buka usaha jualan sate sendiri.
Lokasi tempat usaha yang dia pilih di Jantho, ibu kota Kabupaten Aceh Besar. Namun usaha itu tak bertahan lama.
Pasca MoU Helsinki, Saimun mengambil silkap untuk pulang kembali ke kampung halamannya membangun kehidupan bersama orang tua dan keluarga besar yang sekian lama terpisah karena konflik.
Dia pun menjalani hidup sebagai petani.
Pada 2009, seiring dengan bertambahnya usia, Saimun mengkhiri masa lajang dengan menikahi seorang gadis bernama Salmawati dari Gampong Tanjong Mesjid, Kecamatan Peusangan, Bireuen.
Tak lama setelah berumahtangga—karena tuntutan ekonomi yang semakin tinggi—Saimun pun sepakat dengan sang istri untuk mencari peruntungan di Banda Aceh.
Maka, sejak 2009 itu pula, Saimun bersama keluarganya menetap dan menjadi warga Gampong Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
Usahanya sehari-hari berjualan sate sambil terus menebar bakti sebagai pekerja sosial dan kemanusiaan.
Pasangan ini telah dikaruniai dua anak, Saira Almiara (10) dan Naufal Alfakar (4).
Layanan ambulans jenazah
Sejak dua tiga terakhir, Saimun memiliki aktivitas baru sebagai pengelola mobil ambulans jenazah.
Menurut Saimun, ketika bergabung di RAPI, dia punya mimpi untuk bisa memberikan pelayanan tambahan di bidang sosial—selain tugas utama RAPI sebagai relawan komunikasi.
“Saya berharap RAPI memiliki satu unit ambulans yang bisa membantu masyarakat yang kesusahan atau untuk membantu evakuasi korban pada saat-saat darurat,” ujar Saimun.
Sekitar tiga bulan lalu, mimpi Saimun mulai menampakkan kenyataan ketika rekannya, anggota DPRK Banda Aceh, Mahyidin menyerahkan sebuah mobil Kijang lama kepadanya guna dimanfaatkan untuk kepentingan sosial baik yang dilaksanakan Organisasi Pemuda Peunayong maupun RAPI.
Mahyidin dan Saimun yang sama-sama anggota RAPI—didasari spirit of humanity—bersama-sama membenahi Kijang tua itu agar laik jalan.
Akhirnya mereka sepakat mengoperasikan mobil tersebut sebagai ambulans jenazah.
“Dengan berbagai keterbatasan yang kami miliki, untuk sementara operasional ambulans kami batasi pada layanan jenazah. Silakan hubungi kami secara langsung atau melalui HP 081269066668 jika membutuhkan. Kami akan terus melayani, karena semangat sosial untuk kemanusiaan tak pernah mati,” ujar Saimun menyiratkan semangat seorang relawan sejati.(*)