Berita Gayo Lues
Pacuan Kuda Gayo Sudah Ada Jauh Sebelum Belanda Datang
Pemkab Gayo Lues menggelar even pacuan kuda tradisional selama seminggu, terhitung sejak 29 Juli hingga 4 Agustus 2019.
Pacuan Kuda Gayo Sudah Ada Jauh Sebelum Belanda Datang
Laporan Rasidan I Blangkejeren
SERAMBINEWS.COM, BLANGKEJEREN - Pemkab Gayo Lues menggelar even pacuan kuda tradisional selama seminggu, terhitung sejak 29 Juli hingga 4 Agustus 2019. Pacuan kuda itu berlangsung di Stadion Buntul Nege Blangsere.
Diperkirakan ada sekitar 210 ekor kuda yang akan ikut serta, yang berasal dari empat kabupaten bertetangga, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara.
“Masing-masing kabupaten mengirimkan 60 ekor kuda, kecuali Aceh Tenggara yang hanya mengirim beberapa ekor saja,” kata koordinator pacuan kuda, Ibrahim, kepada Serambinews.com, Minggu (28/7/2019).
Bagi masyarakat Gayo, kuda memang memiliki sejarah yang panjang. Dikutip dari Kompas.com, kuda di Gayo pada awalnya digunakan untuk mengangkut barang atau untuk membajak sawah.
Saat panen raya, banyak kuda digerakkan ke sawah untuk mengangkut padi. Anak-anak biasa memanfaatkannya untuk berlatih menunggang kuda.
Ayo ke Gayo Lues! Ada Joki Cilik di Pacuan Kuda
Pagelaran Pacuan Kuda di Gayo Lues Dipercepat, Ini Jadwal Pelaksanaannya
Keunikan Paspor Inggris dari Negara Lain, Khususkan Paspor Hewan untuk Kuda
Hingga akhir 1990-an, masih banyak petani menggunakan tenaga kuda untuk membajak sawah ataupun mengangkut padi.
Namun memasuki tahun 2000, banyak petani beralih ke traktor karena ternyata jauh lebih kuat dan cepat membajak sawah.
Saat ini, hampir tak ada lagi petani memakai tenaga kuda di sawah. Kuda hanya menjadi hewan dalam pacuan.
Pacuan kuda tradisional Gayo konon sudah dilakukan sebelum Belanda menjajah Indonesia.
Mengacu pada buku Pesona Tano Gayo karya AR Hakim Aman Pinan (2003), pacu kuda atau pacu kude dalam bahasa Gayo dilakukan sebagai hiburan rakyat jauh sebelum Belanda datang.
Pacu kuda digelar setelah musim panen yang biasa bertepatan dengan bulan Agustus karena saat itu cuaca cerah.
Sumber lain, setidaknya seperti dikatakan Piet Rusdi dalam Pacu Kude: Permainan Tradisional di Dataran Tinggi Gayo (2011), acara ini bermula dari kebiasaan sekelompok anak muda yang iseng menangkap kuda menggunakan sarung di sekitar Danau Lut Tawar. Kala itu banyak kuda digembalakan di sana. Mereka lalu memacunya.
Kelompok pemuda dari satu desa sering bertemu dengan pemuda dari desa lain yang akhirnya berlomba memacu kuda tanpa sepengetahuan pemiliknya.