Rusuh di Papua

Tokoh Agama Papua: Penyelesaian Konflik di Papua Tak Bisa Disamakan dengan Aceh

Pendeta Benny bandingkan dengan penyelesaian konflik di Aceh yang saat itu diinisasi oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Editor: Amirullah
Youtube Najwa Shihab
Pendeta Papua kritisi penanganan konflik di Papua yang cenderung represif 

Tokoh Agama Papua: Penyelesaian Konflik di Papua Tak Bisa Disamakan dengan Aceh

SERAMBINEWS.COM - Tokoh agama Papua Benny Giay sesalkan pemerintah Indonesia yang dianggap tidak adil dalam penyelesaian konflik di Papua.

Pendeta Benny bandingkan dengan penyelesaian konflik di Aceh yang saat itu diinisasi oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Hal itu Pendeta Benny sampaikan dalam acara Mata Najwa yang diunggah di Youtube Kamis (5/9/2019).

“Penanganan berbeda antara Aceh dan Papua, Papua dan Aceh sama-sama daerah saparatis, daerah kaya tapi hasilnya diambil, tapi penyelesaian masalah itu beda, pemimpin GAM dijadikan sebagai mitra dialog,” ungkap Benny membandingkan.

Namun kata Pendeta Benny, justru aktivis Pro Kemerdekaan Papua Benny Wenda ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat.

“Benny Wenda kemarin Menkopolhukam bilang ini profokator,” kata Pendeta Benny.

Baca: 3 Fakta Sosok Veronika Koman Tersangka Kerusuhan Papua, Pernah Tersadung Kasus Hina Presiden

Baca: Insiden Bendahara, Lima Oknum Polisi Divonis Berbeda

Baca: Insiden Kebakaran di Sawang yang Menewaskan Hambali, BPBD Salurkan Berbagai Bantuan, Ini Rinciannya

Ia juga mengkritisi Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang tidak menerapkan solusi konflik yang sama seperti saat Jusuf Kalla memperjuangkan Aceh.

 “GAM bisa duduk bersama dengan NKRI, Jusuf Kalla luar biasa, kejar mereka untuk duduk bersama, Presiden Jokowi hari ini hebat bicara banyak mendukung referendum Palestina, lalu Papua bagaimana?” kata Pendeta Benny.

Ia juga menyandingkan pengibaran bendera GAM dengan pengibaran Bendera Bintang Kejora Papua.

“Orang Aceh bisa kasih naik bendera GAM, Partai Lokal bisa, Papua tidak bisa,” kata Pendeta Benny.

Diketahui seperti Papua, Aceh juga pernah menuntut referendum selama 30 tahun lamanya.

Hingga akhirnya usai bencana Tsunami, tepatnya pada tahun 2005 Aceh memutuskan untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia.

Dikutip dari Kompas.com penyelesaian konflik ini juga mendapat apresiasi dari Mantan Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) Pieter Feith.

Pieter Feith juga mengaku takjub melihat perkembangan proses damai di Aceh pasca-penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) di Helsinki pada 2005.

“Dalam beberapa kunjungan dan saat bertugas di berbagai tempat saya selalu menceritakan kondisi Aceh yang berhasil menciptakan perdamaian dan menyelesaikan konflik yang terjadi," ujar Feith, Jumat (13/10/2015).

"Jadi (proses damai) ini memang pelajaran berharga bagi dunia dan negara-negara yang mengalami masalah yang sama seperti Filipina, Ukraina dan beberapa negara lainnya,” tambah Feith saat menghadiri peringatan 10 tahun proses damai Aceh pasca-MoU Helsinki di Banda Aceh.

Baca: Fairuz Khawatir Kondisi Cut Meyriska di Rumah Sakit, Istri Roger Danuarta Disambangi Ustaz

Baca: VIRAL - Ditinggal Nikah setelah Pacaran 7 Tahun, Pria Ini Nekat Terobos Kamar Rias dan Menangis

“Saya melihat ada hal banyak berubah di Aceh, kini saya sudah bisa melihat masyarakat Aceh kembali tersenyum dan bisa meningkatkan taraf hidupnya yang lebih baik,” tambah dia.

Feith mengakui, kondisi masyarakat Aceh saat perjanjian damai diteken pada 2005 sangat buruk dan menyedihkan.

“Saya bisa merasakan kesedihan masyarakat saat itu apalagi saat itu Aceh baru saja dilanda bencana tsunami, dan kini semua itu sudah tidak terlihat lagi,” ujarnya.

Melaksanakan implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), sebut Feith, hendaknya pemerintah Aceh bisa mendahulukan pemenuhan kebutuhan rakyat, menghindari korupsi, dan meningkatkan kehidupan bertoleransi yang baik.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, dalam 10 tahun terakhir telah banyak kemajuan yang telah dicapai Aceh.

Meski demikian masih ada beberapa hal yang harus ditingkatkan lagi.

Setidaknya proses yang terjadi selama 10 tahun ini menghadirkan sikap optimis bahwa Aceh berjalan ke arah yang lebih baik.

“Yang dibutuhkan adalah kebersamaan dan kekompakan dalam mengisi pembangunan, sehingga perdamaian ini mampu membawa masyarakat Aceh ke gerbang kesejahteraan,” ujar Zaini.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sesama Daerah Separatis, Penyelesaian Konflik di Papua Tak Bisa Disamakan dengan Aceh

Penulis: Desy Selviany   

Editor: Dian Anditya Mutiara

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved