Opini
Tidak Ada Urgensi Qanun Hukum Keluarga
Di tengah rumitnya persoalan negeri pascademonstrasi besar-besaran imbas lahirnya Undang-undang yang dianggap
Oleh Sherly Maidelina, Aktivis Perempuan Aceh
Di tengah rumitnya persoalan negeri pascademonstrasi besar-besaran imbas lahirnya Undang-undang yang dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat, ternyata Rancangan Qanun Hukum Keluarga yang akan diterapkan di Aceh masih menjadi isu hangat.
Ya, pasca terbitnya berita di media massa, seolah qanun tersebut adalah pelegalan dari poligami, maka warga Aceh bahkan nasional turut menanggapi. Kaum ibu menjadi yang paling resah hingga hampir di semua status sosial media protes atas hal tersebut.
Padahal jika ditelaah, substansi poligami dalam qanun tersebut tidak ada beda dengan yang berlaku selama ini. Bahwa poligami diperbolehkan asal memenuhi syarat-syarat termasuk izin istri dan kemampuan finansial yang mumpuni.
Teringat bahwa seorang aktivis Ketua Srikandi PP Kota Langsa, Oktarina, pernah mengatakan bahwa yang ia inginkan dari Qanun Hukum Keluarga tersebut adalah praktek poligami yang tanpa izin istri, agar tidak ada alasan bagi seorang suami ketika diajak selingkuhannya menikah karena telah diizinkan pemerintah dan jika izin istri menjadi syarat mutlak, maka hampir tak ada istri yang rela suaminya menikah lagi. Terbukti hanya dalam sehari saja berita tersebut dimuat, ribuan komentar bahwa jangan sampai suaminya berpoligami pun menjadi perbincangan sengit.
Bagi Oktarina, disahkannya poligami tanpa izin istri adalah cara menyelamatkan perempuan-perempuan yang terbodohi rayuan maut pria hingga mau dijadikan istri kedua atau ketiga, maka jika menikah sah, pria tersebut wajib menafkahi ke semua istrinya, dan ada tempat istri kedua atau ketiga itu mengadu pada pemerintah. Maka tentu qanun tersebut berbahaya bagi kaum elit atau pejabat nakal pemburu syahwat karena ia tak lagi memiliki alasan untuk hanya menikah sirri atau sembunyi.
Harapan Oktarina dalam isi qanun tentu tidak direspon positif, sebagian besar kaum hawa menganggap bahwa hal tersebut sangatlah tidak adil. Dimana sang suami menikah lagi tanpa izinnya, dan si madu malah juga berhak mendapat bagian harta. Maka telah terjadi dua hal yang menyakitkan, sehingga barangkali hal ini pula yang membuat isi Qanun Hukum Keluarga menjadi tidak ada beda dengan yang telah berlaku saat ini bahwa poligami diperbolehkan jika memenuhi syarat termasuk izin istri.
Kemarin, dalam opini Dr H Agustin Hanafi Lc, MA menyebut bahwa Aceh butuh Qanun Hukum Keluarga, salah satu yang penting adalah adanya sanksi bagi pelaku yang menikah liar seperti yang pernah diberitakan bahwa kepala KUA polisikan penghulu di Aceh Barat karena menikahkan seorang perempuan menjadi istri ketujuh seorang pria (Serambi, 15 September 2019), hingga jika terjadi kesalahan serupa maka sang qadhi bisa dihukum cambuk atau denda.
Benar bahwa pentingnya menertibkan pernikahan, tapi jika alasan qanun adalah demi menertibkan nikah liar semata, maka bukanlah sebuah urgensi bahwa Aceh membutuhkannya. Karena praktek nikah liar, tidak hanya di Aceh, msyarakat yang telah pintar bisa saja memilih qadhi liar di Sumatera Utara atau daerah luar Aceh. Lalu dimana urgensinya ketika itu bisa dilakukan di tempat lain?
Hampir tidak bisa saya mengerti mengapa para ahli hukum tidak bisa melihat persoalan substansi Aceh dalam pernikahan yang mengandung keresahan, seperti tingginya angka perceraian. Dimana sebagian besar penyebab adalah ekonomi, bukan karena perselingkuhan.
Dalam sebuah persidangan di Mahkamah Syariah Langsa 2007 lalu, seorang istri yang awalnya hendak menggugat suami memilih mencabut gugatannya dengan dalih bahwa sang suami yang sebelumnya tidak lagi menafkahi memilih rujuk dan telah mengirimkan sejumlah uang untuk kehidupan sang istri, hingga ia kembali membuka hati untuk menerima suaminya kembali.
Bahwa praktek nikah sirri pun menjadi digemari karena pria mapan yang beristri lebih diminati, ketimbang pria lajang yang seharian menghabiskan waktunya di warung kopi tanpa menghasilkan pundi-pundi.
Bahkan fasakh pun malah menjadi salah satu trik suami menunggu sang istri menggugat cerai karena akan terbebas dari membiayai masa iddah istri dan kewajiban lainnya. Artinya ada urgensi yang benar-benar luput dalam rancangan qanun keluarga tersebut.
Padahal anak hasil perceraian tentu sarat akan beban mental, terlebih ketika sang ayah malah lupa menafkahi karena memang telah candu mempermainkan waktu mencari rezeki. Dimana tidak ada satu pun hukum di negeri ini yang mampu memperkuat proses eksekusi, sehingga keadilan menjadi hal yang paling rumit diperjuangkan kaum bagi yang tidak elit. Seperti banyaknya kasus penetapan hadhanah anak yang sulit dieksekusi, sehingga sang ibu harus memilih bekerja lebih keras demi menghidupi anak-anaknya.
Seorang anak berusia 7 tahun dimana orang tuanya bercerai dan ayah tidak menafkahi mereka, pernah berdoa dalam shalatnya, "Ya Allah, jadikanlah kami anak yatim" dengan pemikiran bahwa ketika statusnya yatim, maka akan ada bantuan dari pemerintah dan orang sekitarnya. Posisi yatim telah menjadi pesan dalam Islam untuk dibantu memang kini mendapat banyak kelebihan, sementara yatim fungsi ayah (dalam hal perceraian dan penelantaran kewajiban) luput dari perhatian.
Double burden sebagai bentuk ketidakadilan gender, masih sulit terkurangi. Ketika pilihan menjadi seorang istri yang menafkahi suami sekaligus anak-anak tidak lagi tersanggupi, tentu cerai fasakh menjadi pilihan agar tidak lagi menjadi tulang punggung bagi anak plus suami.
Sebagai negeri syariat Islam, tentu angka perceraian tinggi menjadi persoalan. Tapi menekannya dengan cara menghentikan praktek qadhi liar bukanlah jawaban. Tuan qadhi bekerja menikahi hanya sekali, tapi tanggung jawab yang berada di pundak seorang suami dalam menafkahi keluarganya itu setiap harinya. Tanggung jawab yang harusnya mereka pikul itu pula menjadi hal yang akan mereka pertanggung jawabkan di akhirat kelak, namun kesadaran akan hal ini menjadi sebuah degradasi--yang para pemikir elit--tidak merespon positif. Buktinya isi qanun hukum keluarga lebih kepada persoalan yang tak substansial.
Berbicara apakah Aceh butuh Qanun Hukum Keluarga? Ya benar, Aceh sangat butuh. Tapi bukan Raqan yang telah disahkan DPRA September lalu. Bahwa Aceh benar darurat perceraian, dimana perceraian hal yang paling dibenci Allah. Tapi angka perceraian yang paling tinggi penyebabnya adalah ekonomi, bukan praktek nikah sirri.
Aceh butuh sanksi bagi pelaku-pelaku penelantaran anak istri. Bahwa budaya warung kopi boleh diminati, tapi tidak dengan melalaikan dalam mencari rezeki. Aceh butuh lowongan kerja yang memberi kesempatan bagi semua warganya kehidupan yang layak. Aceh butuh kesejahteraan, dan ini bukan hanya urgensi di Aceh melainkan Indonesia juga.
Jikalau urusan ekonomi, bukanlah ranah Qanun Hukum Keluarga, maka penekanan akan pentingnya menjalankan kewajiban sebagai suami atau ayah harus lebih ditekankan dengan sanksi yang pasti. Karena ketika ekonomi tidak menjadi himpitan bagi sang ibu yang bercerai, paling tidak akan mengurangi jumlah janda yang terpaksa rela menikah sirri karena terhimpit beban sekolah dan kebutuhan primer lainnya.
Kategori yang layak diberi bantuan oleh pemerintah juga menjadi hal penting ditelaah. Terkadang yatim yang kaya menjadi mutlak dapat, sementara tidak yatim namun keuangan lebih sulit, malah tidak dimasukkan dalam kategori. Dan apapun raqan tersebut akan menjadi sia-sia, jika penyebab utama yaitu kemiskinan tidak serius dicarikan solusi.