Kisah Algojo yang Membunuh Orang PKI Usai G30S, Tangan Gemetar hingga Mual-Mual
Chambali saat itu adalah Ketua Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur, pada tahun 1964-1967.
Di sekitar (menurut kesaksian Chambali) datang juga beberapa orang perwakilan dari kantor camat, koramil, dan kantor Polsek Rengel.
Orang yang bicara lantang tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka yang diikat ini adalah musuh negara sekaligus membahayakan agama.
Selanjutnya, seorang pemuda dari Kecamatan Soko, Tuban maju sambil menghunus pedang mendekati tawanan yang berada di paling depan barisan.
Pemuda itu membuat pertanyaan:
"Sampeyan ameh tak pateni. Sak durunge takpateni, opo sampeyane nekpesen. Nek sampeyan wong Islam, moco syahadat disik."
(Anda hendak saya bunuh. Tapi, sebelum saya bunuh, apakah Anda punya pesan. Kalau Anda orang Islam, baca kalimat syahadat dulu).
Chambali menuturkan bahwa pertanyaan itu dijawab dengan gagah oleh anggota PKI tersebut:
"Monggo kulo dipejahi. Kulo mboten enten pesen. Kulo mboten sah moco syahadat, tiang PKI kok moco syahadat. PKI mboten tepang Gusti Allah."
(Silakan saya dibunuh. Saya tidak ada pesan. Saya tidak usah membaca syahadat. Orang PKI kok baca syahadat. Orang PKI tidak kenal Gusti Allah).
Dalam hitungan detik, pedang pemuda itu memotong leher korban. Darah mengalir deras.
Selanjutnya, tubuh tak bernyawa itu ditendang masuk ke jurang.
Semakin larut malam, satu per satu orang PKI yang Chambali dan teman-temannya tangkap berakhir di Jurang Watu Rongko.
Chambali mengaku hal tersebut adalah pertama kalinya melihat penyembelihan orang.
"Perasaan saya bercampur aduk. Badan saya menggigil, perut saya mual sampai muntah-muntah," aku Chambali.
Saat semua korban telah dihabisi, Chambali mengaku mengurung diri di rumah beberapa hari.