JURNALISMEWARGA
Kebun Jambu Kristal, Destinasi Agrowisata Baru di Pidie
MASIH segar dalam ingatan, beberapa tahun belakangan ini dunia pariwisata kita khususnya agrowisata, dihebohkan

NURMAHDI NURDHA, desainer grafis dan Anggota Forum Aceh menulis (FAMe) Chapter Pidie, melaporkan dari Sigli
MASIH segar dalam ingatan, beberapa tahun belakangan ini dunia pariwisata kita khususnya agrowisata, dihebohkan oleh kehadiran taman bunga celosia di beberapa daerah, tidak terkecuali di Pidie. Taman bunga ini memancarkan keindahan yang bisa memanjakan mata ketika dipandang sehingga orang berduyun-duyun datang mengunjunginya dan tak lupa selfie. Kali ini, masyarakat Pidie kembali disuguhi sebuah destinasi baru untuk tempat wisata yang mengandalkan komoditas pertanian sebagai objek wisatanya, yaitu kebun jambu kristal.
Perkebunan ini terletak di Gampong Kupula Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, tepatnya di Km 94,5 jalan Banda Aceh-Medan. Dengan hanya menempuh sekitar 200 meter memasuki sebuah lorong di tepi jalan besar, kita langsung berada di area yang luasnya mencapai sekitar 5 hektare. Di dalam area inilah tanaman jambu kristal dibudidayakan dalam jumlah massal. Perkebunan jambu kristal yang diberi nama Alfayyad Farm ini adalah milik Pak Imran, warga Lampineung, Banda Aceh. Dengan jumlah pohonnya yang mencapai 7.000 batang, hasil panennya pun mampu merambah pasar di seluruh Aceh hingga ke Sumatera Utara.
Jambu kristal (Pcidium guajava) yang sering juga disebut guava kristal, memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan tanaman jambu pada umumnya. Jambu ini tidak memiliki biji atau bijinya hanya sekitar 3 persen dari komposisi buahnya. Rasanya manis dan teksturnya sangat renyah saat dikunyah. Tanaman ini sebutulnya bukanlah tanaman yang asing bagi masyarakat kita, karena selama ini buah jambu kristal ini bisa didapat dengan mudah di pasaran. Meskipun harga jual jambu ini tergolong lebih mahal dibanding harga jual jambu biji biasa, karena sifatnya yang lebih unggul, guava nonbiji ini lebih diminati.
Di perkebunan jambu ini, peminat buah berduyun-duyun datang, tidak hanya untuk membeli buah sebagaimana selama ini diperoleh di pasaran, tetapi di tempat ini pengunjung diperkenankan untuk memetik sendiri buah langsung dari pohonnya. Kita bisa menyeleksi buah yang kita inginkan dengan ukuran dan tingkat kematangan yang sesuai dengan selera masing-masing. Cara ini memberikan sensasi tersendiri bagi pengunjung. Apalagi pengelola kebun memperbolehkan pengunjung untuk menikmati langsung buah ini sambil memetik sepuas-puasnya tanpa dipungut bayaran. Baru setelah buah terkumpul dalam kantong plastik yang dibagikan, pengunjung membawanya ke tempat penimbangan.
Tiap kilogramnya dibanderol dengan harga Rp 20.000. Harga ini sesuai dengan harga yang selama ini berlaku di pasaran. Yang membedakannya, di sini pengunjung sudah lebih dahulu merasa kenyang karena telah puas menikmati guava gratis saat memetik tadi. Sejumlah buah hasil petikan langsung bisa dibungkus dengan erat setelah melunasi tagihan pada kasir yang sekaligus sebagai penimbang buah.
Tadinya saya merasa heran, memperbolehkan pengunjung menikmati buah secara gratis saat di lokasi perkebunan, pasti akan mengakibatkan kerugian bagi petani kebun ini. Eh, ternyata tidak demikian. Saya melihat dan merasakan bahwa kesanggupan setiap pengunjung dalam menghabiskan buah ini tidak lebih dari satu buah. Bahkan banyak di antaranya yang masih memegang sisa buah yang belum habis dimakan, saat penimbangan dan melakukan transaksi. Tentunya ada juga beberapa pengunjung yang mampu menghabiskan lebih dari satu jambu saat berada di lokasi perkebunan ini.
Keunikan lain yang bisa dirasakan di perkebunan ini adalah suasana yang sangat memesona. Hamparan batang jambu yang tumbuh dengan ketinggian yang seragam memperlihatkan sebuah panorama mengundang takjub. Dengan latar belakang Bukit Barisan yang samar terlihat di kejauhan, semakin menambah daya tarik lokasi ini. Tidak heran jika tempat ini juga banyak dimanfaatkan oleh pengunjung untuk berswafoto sambil menikmati renyahnya guava kristal di setiap sudut kebun.
Keindahan lokasi perkebunan ini kembali mengingatkan saya pada area wisata kebun celosia. Taman bunga yang banyak dikunjungi karena efek keindahan yang memancar pada lokasi yang meriah berwarna-warni sehingga pengunjung yang datang semata-mata untuk memanjakan matanya, sembari berswafoto untuk dijadikan kenang-kenangan. Namun, pada wisata buah di Gampong Kupula, Padang Tiji, ini pengunjung hanya disuguhi warna yang penuh dengan kehijauan. Tetapi tetap dapat menyejukkan mata yang melihatnya.
Bagi masyarakat Pidie, mengunjungi tempat wisata yang berbasis pertanian seperti ini bukanlah hal baru. Selama ini, terdapat kebun rambutan di kawasan Lala, Kecamatan Mila, Pidie. Tempat ini menyajikan hal yang serupa dengan sistem yang diberlakukan di kebun jambu ini. Pengunjung diperbolehkan memakan buah sepuasnya di kebun dan hanya membeli rambutan yang akan dibawa pulang. Bedanya di kebun rambutan, buah yang dibayar pengunjung dengan menghitung jumlah buahnya. Bukan ditimbang seperti pada kebun guava kristal.
Kebun rambutan ini juga mendapat sambutan positif dari masyarakat yang tinggal di berbagai tempat di Pidie. Bahkan tidak sedikit yang berasal dari luar kota ikut menyambangi untuk menikmati sensasi agrowisata ini. Namun, sifat tanaman rambutan yang musiman, mengakibatkan tempat ini hanya dikunjungi pada bulan-bulan tertentu saja, yaitu pada saat sedang musim rambutan. Itu pun hanya berlangsung sekitar satu atau dua bulan dalam setahun. Beda halnya dengan tanaman lain yang tidak mengenal musim, keberlangsungan wisata buahnya bisa berlangsung sepanjang tahun dan tidak dibatasi oleh musim. Makanya kehadiran kebun guava ini, sontak mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Fenomena ini memberikan gambaran kepada kita bahwa sangat banyak potensi alam yang masih belum dimanfaatkan sepenuhnya selama ini. Area yang luas membentang di sekitar kebun guava ini masih dimungkinkan untuk dimanfaatkan dalam melahirkan industri agrowisata baru dengan komoditas yang berbeda. Mengingat dari riwayat perkebunan rakyat, lokasi ini juga pernah ditanami jeruk manis dan tumbuh dengan subur. Bukan tidak mungkin kesuburan tanah di kawasan ini juga cocok dikembangkan untuk tanaman lain, seperti jambu air, jeruk bali, maupun tanaman buah lainnya yang diperuntukkan menjadi agrowisata baru.
Tentunya di sini dibutuhkan kreativitas dan pengetahuan yang memadai untuk bisa menaklukkan alam dan mengambil manfaat dari setiap jengkal potensi yang selama ini terbengkalai. Tidak hanya itu, kemauan dan kesiapan mental juga ikut menentukan, apakah potensi alam yang melimpah ini bisa dieksploitasi menjadi sesuatu yang berarti, terutama untuk menumbuhkan agrowisata baru di kawasan yang sangat strategis ini? Jawabannya ada pada orang-orang yang kreatif. Bukan hanya di Pidie, di tempat lain di Aceh pun banyak sosok yang kreatif ini. Cuma saja belum terekspose.