Cerita Napak Tilas Makam Cut Meutia, 109 Tahun Berlalu, Jalan belum ‘Merdeka’
Srikandi Aceh tersebut gugur saat melawan penjajah Belanda pada 24 Oktober 1910 di pinggir sungai (Krueng) Keureutoe
Kendati sudah 109 tahun Srikandi Aceh itu gugur dalam membela Tanah Air, tapi sampai kini belum ada akses jalan yang memadai ke lokasi makam Cut Meutia. Padahal, jarak dari Desa Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara, ke lokasi tersebut hanya sekitar 22 kilometer.
Kamis (24/10/2019) bertepatan dengan 109 tahun Pahlawan Nasional asal Aceh, Cut Nyak Meutia, meninggal dunia. Srikandi Aceh tersebut gugur saat melawan penjajah Belanda pada 24 Oktober 1910 di pinggir sungai (Krueng) Keureutoe--kini masuk kawasan Desa Alue Karieng, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara.
Meski Negara sudah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 1964, tapi saat itu tidak ada yang tahu dimana lokasi makam Cut Meutia. Belakangan, pihak keluarga mendapat informasi tentang hal itu dari catatan harian seorang tentara Belanda bernama Mosselmad.
Catatan tersebut ditemukan Henri Carel Zentgraaff (HC Zentgraaff), Sersan juru tulis Belanda yang kemudian dibukukan. Dalam buku tersebut memuat kisah Belanda ketika melawan pasukan Cut Meutia yang disertai dengan peta manual. Berbekal buku tersebut, pihak keluarga mencoba menelusurinya.
“Dalam buku tersebut jelas sekali peta lokasinya. Buku itu kami peroleh dari Rahmat Selamat di Bandung ketika itu,” ujar Teuku Suhatsyah, cicit Cut Meutia kepada Serambi, Kamis (24/10/2019). Tahun 1970-an, sebut Suhatsyah, pihaknya coba menelusurinya, kendati saat itu sudah ditemukan tapi begitu yakin dengan lokasi tersebut.
Awal tahun 1989, sebuah tim yang dibentuk Pemerintah Pusat bersama keluarga besar keturunan Cut Meutia dan dibantu TNI dari Korem 011/Lilawangsa, menelusuri hutan belantara untuk mencari makam pahlawan nasional tersebut. Tidak mudah untuk menjangkau lokasi saat itu, karena harus menelusuri hutan belantara. Namun, tim terus mencari.
Mereka didampingi Pawang Lah (Abdullah) asal Kecamatan Paya Bakong. Pria tersebut dikenal dengan pawang hutan yang dipercaya masyarakat mampu menguasai belantara di wilayah Keureuto (kawasan Paya Bakong, Pirak Timu, Matangkuli, dan sekitarnya). Tim tiba di kawasan itu pada sore hari setelah lelah berjalan kaki.
Sesampai di lokasi, tak jauh dari pinggir sungai (krueng) Keureuto, ditemukan tumpukan tanah yang sudah meninggi yang diduga akibat aktivitas rayap tanah. Lokasi itulah diyakini sebagai tempat Pahlawan nasional asal Aceh tersebut gugur saat bertempur dengan serdadu Belanda. Cut Meutia meninggal terkena tiga tembakan di badannya. Sehingga, Ibu dari Raja Sabi ini gugur bersimbah darah di lokasi tersebut.
Saat itu, anggota pasukan lain langsung berusaha menyelamatkan diri. Sebab, perang tersebut tidak ada lagi yang mengomandoi setelah Cut Meutia Gugur. Belanda merampas semua perhiasan yang dikenakan Cut Meutia seeperti kalung di leher dan gelang di tangannya. Tapi. ketika hendak mengambil gelang di tangan kiri Cut Meutia, pasukan Belanda tak mampu membukanya.
Kemudian, tangan Cut Meutia dipotong untuk dirampas gelasng emas. Setelah memastikan pasukan Belanda sudah meninggalkan kawasan tersebut, pada 26 Oktober 1910, barulah pasukan Aceh kembali ke lokasi itu.
“Berdasarkan cerita yang pernah saya dengar, besoknya baru kembali pasukan yang dipimpin Cut Meutia ke lokasi sebelumnya. Sesampai di lokasi itu, ditemukan tubuh Cut Meutia yang sudah ditutupi rayap tanah,” kata Teuku Ridwan, Cicit Cut Meutia beberapa waktu lalu. Lalu, pasukan muslim menjadikan lokasi tumpukan tanah itu sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi Cut Meutia.
“Seingat saya sekitar tahun 1980-an, ada pasukan TNI bersama keluarga dan masyarakat saat itu mencari lokasi syahidnya Cut Meutia. Mereka membawa Pawang Lah, pawang hutan yang tinggal di Paya Bakong. Saat itu tumpukan tanah atau sarang rayap itu semakin membesar, di lokasi itulah dijadikan makam cut meutia,” kata Teuku Ridwan.
Menurutnya, sekitar tahun 1988, sekitar 100 orang lebih dari berbagai organisasi kepemudaan, Pramuka, dan TNI menelusuri makam Cut Meutia. Tim tersebut dilepas Bupati Aceh Utara saat itu, Ramli Ridwan. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 20 orang yang sampai ke lokasi, karena sulitnya menelusuri belantara.
Mereka menelusuri menggunakan jalur dari Pirak, karena saat itu jalan setapak pun belum ada. Setelah menempuh perjalanan dua hari, tim akhirnya tiba di makam. “Saat itu belum ada bangunan apapun di lokasi itu. Mereka menandai makam tersebut dengan tumpukan tanah, sarang rayap,” timpal Teuku Ridwan.
Lalu, sekitar tahun 2000-an, barulah makam dan rumah Cut Meutia yang berada di Desa Pirak, Kecamatan Matangkuli, dipugar. “Rumah cut Meutia dulu tak seperti yang terlihat sekarang. Rumah panggung kecil, kalau beliau juga hidup sederhana. Tapi, lokasi rumah dulu benar di lokasi rumah sekarang,” ungkap Teuku Ridwan.