Tak Hanya Menimpa Altet Senam SEA Games, 5 Isu Tes Keperawanan juga Pernah Terjadi di Indonesia
Sebelum masalah SAS, sudah pernah ada beberapa isu yang mencuat terkait tes keperawanan yang dijadikan sebagai syarat.
Prabumulih pun sempat menjadi trending saat itu. " Tes keperawanan SMA tuh buat apa? Kalo gak perawan gak boleh sekolah? Dibuang ke pulau kosong? Dirajam?”" kicau Merry Magdalena Parikesit, penulis buku, melalui akun Twitter @MerryMP.
Terkait hal tersebut, melansir dari Harian Kompas, Rabu (21/08/2013), Kepala Dinas Pendidikan setempat, HM Rasyid, membantah adanya pemberlakuan uji keperawanan bagi siswi SMA di Prabumulih.
Ia menyebut rencana tersebut dilontarkan terkait tuntutan para orangtua murid yang nyaris menjadi korban perdagangan perempuan.
Beberapa hari sebelumnya enam siswi SMA Prabumulih diselamatkan dari transaksi human trafficking.
Ketika itu, perantara perdagangan yang diamankan polisi menyangkal tuduhan dengan mengatakan para siswa tersebut tak lagi perawan.
Menurutnya para orangtua tak terima dan meminta tes keperawanan. ”Saat itulah muncul wacana itu, tetapi hanya untuk korban trafficking, bukan untuk seluruh siswi,” kata dia.
Terkait uji keperawanan untuk siswa SMA, Prof Sirozi, pakar pendidikan dan Ketua Dewan Pendidikan Sumatera Selatan saat itu menilai hal tersebut bisa mencederai hak warga negara dalam mendapatkan pendidikan.
Selain itu menurutnya pembenahan tindakan pelajar perlu dilakukan dengan membenahi materi pendidikan di sekolah, rumah dan masyarakat.
3. Tes keperawanan sebagai syarat kelulusan siswa di Jember
Pada 2015, publik dihebohkan dengan usulan Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jember, Jaw Timur, Mufti Ali.
Pasalnya ia mengusulkan poin dalam perda yang akan dibentuk yakni salah satu syarat kelulusan siswa tingkat SMP dan SMA adalah tes keperawanan dan keperjakaan.
Hal tersebut karena adanya keprihatinan atas temuan siswa SMP yang melakukan seks bebas secara berulang dengan pacarnya. Usulan tersebut banyak menuai pro dan kontra.
Salah satu warga Kelurahan Tegal Besar, Bambang (48) seperti dilansir dari Kompas.com (07/02/2015) mengatakan tidak sepakat.
Ia menilai ide tersebut tidak tepat lantaran bisa menyebabkan timbulnya dampak pada psikologi anak. Selain itu menurutnya penyebab hilangnya keperawanan bukan hanya akibat hubungan seksual.
“Bisa jadi kan karena kecelakaan, kemudian fafktor lainnya, kita kan tidak tahu, lalu bagaimana dengan membuktikan keperjakaan,” tanya dia.