SALAM SERAMBI
LP dan Rutan Mestinya Dirazia Dua Hari Sekali
LAGI-LAGI Harian Serambi Indonesia mengangkat isu narkoba dalam pemberitaannya pada edisi hari Minggu kemarin.
LAGI-LAGI Harian Serambi Indonesia mengangkat isu narkoba dalam pemberitaannya pada edisi hari Minggu kemarin. Kali ini diwartakan bahwa dalam razia dadakan yang dilakukan Pelaksana Tugas (Plt) Cabang Rumah Tahanan Negara (Rutan) Lhoksukon, Ramli SH bersama sejumlah sipir rutan tersebut, Sabtu (14/12/2019), terungkap bahwa ada dua warga binaan yang masing-masing memiliki sabu-sabu dan ganja di dalam selnya.
Barang haram tersebut ditemukan di kamar A2 berupa delapan paket sabu seberat 4,29 gram. Sabu-sabu itu milik Maryah (38), tahanan jaksa asal Desa Blang Reule, Kecamatan Simpang Kramat, Aceh Utara. Selain itu, ditemukan 43 paket ganja seberat 47 gram milik Sulaiman (35), narapidana (napi) asal Gampong Paya, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Sulaiman divonis lima tahun pidana penjara dan akan bebas pada tahun 2023.
Razia tersebut, menurut Ramli, dilaksanakan atas instruksi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang melibatkan 22 personel, terdiri atas sipir dan polisi yang bertugas melakukan pengamanan di rutan tersebut. Razia berlangsung dua jam sejak pukul 10.00 WIB.
Razia tersebut didampingi ketua kamar masing-masing napi dan tahanan. Petugas menggeledah tubuh warga binaan di pintu kamar satu per satu. Lalu memeriksa isi semua kamar. Ketika masuk ke kamar A2 petugas mendapati ada dua bungkus rokok di atas pintu. Setelah diperiksa ternyata berisi sabu dan ganja.
Setelah ditelusuri sabu tersebut ternyata milik Maryah, sedangkan ganja milik Sulaiman. Ramli langsung menghubungi Kapolres Aceh Utara untuk mengabarkan temuan tersebut. Tak lama kemudian polisi tiba di rutan untuk menjemput kedua tersangka.
Razia dilanjutkan ke kamar warga binaan lainnya. Petugas menemukan 19 handphone, 20 charger, lima sendok, satu tang, gunting, dan tempat minum dari besi.
Sebelum dibawa polisi, kedua tersangka sempat diinterogasi Plt Kepala Cabang Rutan Lhoksukon. Interogasi itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara napi tersebut memasok narkoba ke dalam rutan. Maryah yang berstatus tahanan jaksa mengaku bahwa sabu itu dipasok temannya yang diduga pengedar sabu dengan cara menyembunyikan di dalam duburnya.
Sedangkan 43 paket ganja yang ditemukan seberat 47 gram milik Sulaiman ternyata dipasok karena dibantu oleh pegawai yang diduga sipir cabang rutan tersebut. Namun, belum sempat Sulaiman menyebutkan nama sipir tersebut, ia sudah dibawa polisi.
Nah, fakta yang terungkap ini kembali menyentak nurani kita. Sinyalemen bahwa di LP atau rutan bisnis narkoba tetap berlangsung kini kembali terbukti. Bukan saja ganja, tetapi sabu-sabu pun yang lebih sukar mendapatkannya ternyata ada di sel-sel para tahanan dan napi.
Lebih ironis lagi narkoba tersebut dipasok ke dalam sel, antara lain, karena dibantu oleh sipir. Fakta ini lagi-lagi menunjukkan bahwa sipir bagaikan tak kapok kapoknya ikut serta dalam bisnis terlarang ini. Padahal di banyak LP dan rutan tidak sedikit pula sipir yang sudah ditindak bahkan dipecat gara-gara berkolaborasi dengan napi atau tahanan dalam berbisnis narkoba di penjara.
Apa yang terungkap dalam razia dua jam tersebut sesungguhnya menggambarkan wajah buram dari lembaga pemasyarakatan kita. Tetap saja ada oknum yang seharusnya mencegah masuknya narkoba ke dalam sel tahanan, tapi justru bertindak sebaliknya, yakni menjadi pagar makan tanaman.
Oknum-oknum berperilaku buruk yang bagaikan "musang berbulu ayam" ini harus ditindak tegas. Jika perlu dipecat secara tidak hormat karena tindakannya telah telah melanggar sumpah jabatan dan menodai citra jajaran kehakiman.
Di sisi lain, fakta yang terungkap ini menunjukkan betapa pentingnya razia dilakukan dalam durasi yang singkat. Sebaiknya razia ke kamar-kamar napi dan tahanan dilakukan secara dadakan paling telat dua hari sekali sehingga warga binaan tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk memasok, menyimpan, dan mengonsumsi barang-barang terlarang seperti sabu-sabu dan ganja.
LP dan rutan kita selama ini telanjur dicitrakan sebagai pusat pengendali bisnis narkoba di Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Sekitar 75% bisnis narkoba di negeri ini justru dikendalikan dari dalam penjara. Dengan razia yang rutin dan menyeluruh didukung dengan penegakan hukum yang tegas kita harapkan LP dan rutan kita tidak lagi menjadi sarang narkoba. Juga tidak lagi menjadi pusat pengendalian bisnis narkoba.
Sejalan dengan itu maka razia LP dan rutan juga harus menyasar keberadaan setiap handphone di dalam rutan, karena melalui handphonelah bisnis narkoba tetap bisa dikendalikan oleh para bandar yang badannya terkurung tetapi akses komunikasinya ke luar penjara tetap bebas.