Gedung Escape Building Harus Berfungsi Ganda
Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
BANDA ACEH - Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Syamsidik, mengatakan, penting bagi masyarakat Aceh untuk selalu menyadari bahwa semakin menjauh dari tsunami 2004, sesungguhnya daerah ini sedang mendekat ke peristiwa tsunami berikutnya. Hal itu disampaikan Syamsidik menjawab Serambi seputar persoalan gedung evakuasi atau escape building di Aceh yang minim perawatan dan bahkan tidak berfungsi sebagaimana tujuan pembangunannya.
Menurut Syamsidik, 15 tahun setelah tsunami 2004, ada beberapa pertanyaan penting terkait mitigasi tsunami di Aceh yang harus dibedah. Salah satunya adalah infrastruktur evakuasi tsunami. Dikatakan, perubahan drastis pada tata guna lahan, pembangunan infrastruktur publik, dan fasilitas lainnya banyak dibangun pada lima tahun pertama proses pemulihan Aceh pascatsunami yang mayoritas berada dalam kurun kerja BRR Aceh-Nias.
Setelah tahun 2010, perkembangan infrastruktur terkait mitigasi tsunami berjalan lambat di hampir semua daerah yang rawan tsunami. "Ini mengesankan seolah-olah makin kita menjauh dari tsunami 2004, kenangan dan upaya melindungi warga makin mengendur," ujar Syamsidik yang juga dosen jurusan teknik sipil Unsyiah, ini.
Begitu juga terkait upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami secara menyeluruh, meski latihan dilaksanakan hampir tiap tahun, namun angka partisipasi masyarakat secara suka rela cukup minim. "Padahal, penting disadari bahwa semakin kita menjauh dari tsunami 2004, sesungguhnya kita sedang mendekat ke peristiwa tsunami berikutnya," kata peneliti tersebut.
Warning (peringatan) yang disampaikan Syamsidik, didasari antara lain temuan Gua Ek Leuntie di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Gua kotoran kelelawar tersebut, menurutnya memberi bukti secara ilmiah bahwa Aceh pernah didera tsunami sebanyak 11 kali dengan interval waktu yang beragam sejak ribuan tahun lalu. "Bukti ilmiah itu harusnya lebih dari cukup untuk memperkuat upaya mitigasi tsunami di Aceh secara berkelanjutan," katanya.
Minim perawatan
Infrastruktur evakuasi tsunami yang dibutuhkan saat ini, menurut Syamsidik adalah bangunan penyelamatan (gedung atau bukit alami/buatan) dan jalan evakuasi tsunami. Kebutuhan gedung evakuasi tsunami secara umum tidak memadai dibanding jumlah warga yang berada dalam risiko bencana tsunami tinggi.
Sebagai contoh, katanya, sekitar 1/3 warga Banda Aceh berada pada zona yang memiliki kerawanan tinggi terhadap tsunami. Jumlah populasi yang harus dievakuasi dalam waktu cukup singkat di Banda Aceh sekitar 80.000 jiwa. Rata-rata kapasitas gedung evakuasi tsunami di Banda Aceh hanya mampu menampung 800-1.000 jiwa. Jika seluruh gedung evakuasi tsunami difungsikan maksimal, hanya 5.000 sampai 6.000 warga yang dapat ditampung. Tentu jumlah ini jauh dari memadai. Karena itu, jelas harus ada jalan keluar mengevakuasikan warga ke titik aman tsunami dalam waktu yang cepat.
Kebanyakan gedung evakuasi yang telah dibangun, diakui oleh Syamsidik minim perawatan dan hanya berfungsi tunggal (single purpose). Meski penilaian ini sering dibantah oleh pihak yang berwenang, lanjut Syamsidik, tapi faktanya nyaris tak ada kegiatan apapun yang dapat diklaim sebagai agenda rutin warga atau pemerintah di hampir semua gedung evakuasi yang ada kecuali di Aceh Jaya dan Aceh Barat serta gedung TDMRC Unsyiah di Meuraxa.
Dalam penilaian Syamsidik, membangun gedung evakuasi tsunami baru sebenarnya bukan pilihan yang tepat dalam situasi seperti sekarang. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari penilaian tersebut, yaitu gedung evakuasi tsunami membutuhkan biaya yang tidak sedikit dengan frekuensi pemanfaatan yang rendah, biaya perawatan dan operasional gedung menjadi mahal, dan sulit mendekatkan fungsi gedung kepada masyarakat di sekitarnya.
Ketiga alasan tersebut, katanya, sudah dibuktikan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Dalam rentang waktu itu terjadi beberapa kali gempa besar yang memicu evakuasi warga kota. Salah satunya gempa bumi kembar pada 11 April 2012. "Waktu itu tidak ada gedung evakuasi tsunami yang digunakan oleh warga Banda Aceh kecuali Gedung TDMRC Unsyiah di Ulee Lheue, itupun hanya puluhan warga saja," ungkapnya.
Masjid dan bukit
Menanggapi kebutuhan gedung evakuasi dan efektifitas gedung evakuasi dengan fungsi tunggal (single purpose), Syamsidik menyarankan untuk mencukupkan jumlah gedung evakuasi tsunami dengan mengadopsi prinsip fungsi ganda gedung (multipurpose). "Artinya, satu gedung yang secara rutin memiliki fungsi lain, dibina dan dimodifikasi sehingga dapat juga digunakan sebagai gedung evakuasi tsunami," katanya.
Dari sudut pandang ini, masjid menjadi pilihan tepat untuk dijadikan tempat evakuasi sementara (TES) alternatif. Menjadikan masjid sebagai TES alternatif memiliki banyak keunggulan di antaranya dari segi kedekatan spiritual dan operasionalnya, apalagi di Aceh. Selain masjid, di wilayah yang secara geografis memiliki perbukitan di sekitarnya, dapat menggunakan bukit tersebut sebagai tempat evakuasi tsunami.
Namun, kata Syamsidik, bukit tersebut perlu dilengkapi akses yang memudahkan warga mencapai titik tertinggi dalam waktu cepat dan aman. Jika evakuasi tsunami terjadi pada malam hari, akses ke bukit-bukit tersebut akan menjadi lebih sulit jika tidak tersedia tangga dan jalur naiknya penuh semak belukar. Menurut Syamsidik, bukit buatan dapat pula dibangun pada daerah yang tidak memiliki bukit alami sebagai tempat evakuasi.