Luar Negeri

Qasem Soleimani, Jenderal Top Iran Tewas Dirudal Diperintah Trump, Garda Revolusi Siap Balas Dendam

Seorang komandan top Iran dan pemimpin milisi Irak dilaporkan tewas dalam serangan yang berlangsung di bandara Baghdad.

Editor: Faisal Zamzami
En.shafaqna.com
Mayor Jenderal Qasem Soleimani, komandan Pasukan Quds, cabang Garda Revolusi Iran 

Washington menjelaskan, perwira tinggi berusia 62 tahun itu mendalangi serangan terhadap markas mereka di Irak.

 Termasuk, serangan roket yang menewaskan seorang kontraktor sipil AS di wilayah Kirkuk pada Jumat pekan lalu (27/12/2019).

"Amerika Serikat akan terus melanjutkan segala tindakan untuk melindungi warga dan kepentingan kami di mana pun mereka berada," tegas Pentagon.

Sementara Presiden Donald Trump merilis gambar bendera AS dalam kicauannya di Twitter menyusul kematian komandan top Iran itu.

Serangan itu terjadi tiga hari setelah massa yang merupakan pendukung Hashed menyerbut Kedutaan Besar AS di Baghdad.

Aksi protes berujung kerusuhan tersebut terjadi setelah Pentagon menggelar serangan udara yang menewaskan 25 orang anggota Hashed.

Serangan yang terjadi Minggu (29/12/2019) itu disebut Washington merupakan balasan atas serangan roket yang menewaskan kontraktor sipil itu.

DPR AS Tak Diberi Tahu

Komandan tertinggi Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani.(AFP PHOTO / KHAMENEI.IR)
Komandan tertinggi Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani.(AFP PHOTO / KHAMENEI.IR)

Anggota DPR AS mengaku, mereka tak diberi tahu jenderal top Iran, Qasem Soleimani, tewas diserang atas perintah Presiden Donald Trump.

Soleimani ysng merupakan komandan Pasukan Quds, cabang Garda Revolusi, tewas bersama tujuh orang lainnya di Bandara Internasional Baghdad, Irak.

Dalam pernyataannya, Pentagon menyatakan bahwa Mayor Jenderal Qasem Soleimani tewas diserang atas "arahan Presiden" Trump.

DPR AS, Eliot Engel menyatakan, serangan atas jenderal Iran itu tidak melalui konsultasi dengan Kongres.

Politisi dari Demokrat itu berkata, Soleimani jelas "dalang kekerasan" yang terjadi, dengan "darah orang AS di tangannya".

"Tetapi, memaksakan kebijakan ini jelas bakal memberikan problem yang serius," lanjut Engel dilansir AFP Jumat (3/1/2020).

"Selain itu, tindakan tersebut merupakan penghinaan terhadap kekuasaan Kongres AS sebagai lembaga yang setara," jelasnya.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved