Opini
Perlukah Menghidupkan Lagi Bioskop di Aceh?
Sebagai perbandingannya beliau menyatakan bahwa beberapa negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi yang notabene negara Islam
Oleh Dr. Yuni Roslaili Usman, M.A, Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Baru-baru ini Menteri Agama RI, Fachrul Razi melemparkan wacana menghidupkan kembali bioskop di Aceh. Sebagai perbandingannya beliau menyatakan bahwa beberapa negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi yang notabene negara Islam, juga memiliki bioskop di negaranya. Di Aceh bisa saja diusulkan untuk memisah atau membuat sekat antara laki-laki dan perempuan (Serambi Indonesia, 1 Februari 2020).
Dalam wawancara bersama Tribun Network itu, Menteri Agama memuji keterbukaan dan sikap toleransi yang sedang terjadi di Timur Tengah. Bersikap terlalu menutup diri dari perubahan tidak mampu menghadirkan Islam yang rahmatan lil `alamin, jelas beliau.
Menonton film di bioskop dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang perkembangan dunia luar. Untuk konteks Aceh, kehadiran bioskop di Aceh memberikan kesempatan kepada masyarakat yang kurang mampu untuk menambah wawasan dan pengetahuan mereka, di saat orang- orang kaya di negeri ini bisa pergi ke kota kota lain untuk menonton di bioskop (Serambi Indonesia, 1 Februari 2020).
Di sisi lain, wacana ini dipandang kontra produktif oleh TA Khalid. Nampaknya kontra produktif yang dimaksud adalah keberadaan bioskop tidak memberikan efek manfaat atas keberlangsungan penerapan syariat Islam secara kaffah di Aceh, bahkan sebaliknya. Menurut anggota DPR RI asal Aceh ini, yang seharusnya yang menjadi fokus Menteri Agama untuk Aceh adalah bagaimana syariat Islam ini bisa diimplementasikan secara menyeluruh baik dalam roda pemerintahan maupun dalam setiap nafas masyarakat Aceh (Serambi Indonesia, 3 Februari 2020).
Selain alasan ini, agaknya yang perlu didiskusikan juga adalah apakah keberadaan bioskop masih urgent seiring perkembangan teknologi bahwa tanpa bioskop nyatanya masyarakat tetap bisa mendapatkan hiburan film melalui berbagai media lain seperti TV, VCD, Internet, dan bahkan handphone yang ada dalam genggaman mereka.
Sejarah bioskop
Keberadaan bioskop pertama di Aceh dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda berkuasa dengan nama "Atjeh Bioscoop", satu-satunya pusat tontonan film-film Eropa. Atjeh Bioscoop dibangun Belanda di sisi barat Taman Vredespak yang kini dikenal sebagai Taman Sari Bustanussalatin, atau di sisi utara Esplanade Koetaradja yang sekarang dinamai Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Tak ada catatan sejarah, kapan tanggal pasti bioskop tertua di Aceh itu pertama kali dibangun. Perkiraannya dalam rentang tahun 1890-1900. Pasca-kemerdekaan gedung ini dikenal sebagai Garuda Theatre, kini menjadi Gedung Digital Inovation Lounge (DILo) atau kerap disebut IT Learning Centre (Iskandar Norman, 2019).
Selain Garuda Theatre, bahkan di Kota Banda Aceh terdapat beberapa bioskop lain di sejumlah lokasi, sebut saja di Peunayong ada bioskop Sinar Indah Bioskop (SIB), di Beurawe ada Jelita Theater, Bioskop Gajah di Simpang Lima, dan terakhir ada Pas 21 di Pasar Aceh Shopping Center yang pada tahun 2001 terbakar (dibakar?).
Sejak saat itu bioskop-bioskop ini tidak beroperasi lagi di Aceh. Dan Bioskop Gajah menjadi pemain terakhir yang menutup lapaknya setelah musibah tsunami melanda Aceh. (Sehat Ihsan, 2010).
Pertanyaan kita adalah kenapa kemudian bioskop-bioskop di Aceh tidak lagi beroperasi? Menurut penulis sepertinya dipicu oleh suasana konflik yang pernah terjadi di Aceh di mana saat itu jam malam mulai diberlakukan dan thearter hanya buka di siang hari hingga berakibat pada minimnya pengunjung yang sebahagian besar terdiri dari mahasiswa dan anak-anak muda yang umumnya sibuk kuliah atau bekerja di siang hari.
Selain itu tsunami yang tejadi di tahun 2004 cukup membuat suasana sosial dan ekonomi di Aceh morat marit. Selain dua hal tersebut, pemberlakuan syariat Islam di Aceh sedikit banyak ikut memberi kontribusi yang menyebabkan bioskop di Banda Aceh ditutup oleh pengusahanya.
Respon masyarakat
Masyarakat yang penulis maksudkan di sini adalah sejumlah mahasiswa yang penulis minta untuk mengisi angket terkait wacana menghidupkan kembali bioskop di Aceh. Penulis ingin mengetahui bagaiman respon anak anak muda kampus terkait masalah ini.
Dalam penelitian kecil-kecilan ini penulis menayakan kepada 17 orang mahasiswa yang kebetulan pada hari itu datang kepada penulis untuk keperluan akademiknya plus dua orang volunteer dari lembaga One Care yang kebetulan sedang bertamu.
Ada lima pertanyaan yang diajukan di dalam angket; pertama apakah menurut mereka masyarakat Aceh perlu hiburan. Kedua, sebutkan beberapa tempat hiburan di Aceh. Ketiga; menurut Anda apakah bioskop merupakan salah satu tempat hiburan? Keempat; Apakah Anda setuju wacana dihidupkan kembali bioskop di Aceh? Kelima sebutkan jenis hiburan yang Anda sukai.
Dari angket sangat sederhana ini peneliti menemukan beberapa jawaban. Dapat disimpulkan bahwa responden sepakat masyarakat Aceh perlu hiburan. Namun apakah bioskop menjadi salah satu sarana hiburan? Pada titik ini mereka berbeda pandangan.
Begitu pula ketika ditanya apakah mereka setuju pada wacana dihidupkannya kembali bioskop di Aceh? Di sini pun mereka berbeda pendapat. Namun demikian mereka semua sepakat menginginkan kemajuan bagi Aceh.
Mafsadat dan mashlahat
Manakala suatu perkara mengandung mashlahat dan mafsadat dalam waktu yang sama, maka menyelesaikan masalah dengan cara melihat sisi mafsadat dan mashlahatnya menjadi keharusan. Dalam Islam terdapat prinsip menolak kerusakan (mafsadat) harus didahulukan daripada mengambil manfaat (kebaikan).
Qaidah itu berbunyi: "Menolak mafsadat harus didahulukan daripada mengambil manfaat". Namun apabila mafsadatnya bisa dieliminir, maka perkara keduniaan yang dasarnya ibahah ini bisa saja menjadi mubah bahkan menjadi sarana dakwah.
Hanya saja apakah pihak pengelola bisa menjamin bahwa kehadiran bioskop di Aceh bisa menjadi salah satu pilar dakwah selain sarana hiburan bagi masyarakat. Sebab seingat saya dulu pun di bioskop pernah dibuat pengumuman bahwa tempat duduk antara laki-laki dan perempuan dipisah, namun maklumat itu tidak diindahkan oleh penonton.
Dalam hal ini maka wajar jika ada pihak pihak yang merasa khawatir bahwa keberadaan bioskop akan menjadi kontra produktif terhadap keberadaan syariat Islam di Aceh.
Selain itu perlu juga mempertimbangkan hasil sebuah riset menyatakan minat masyarakat untuk menonton bioskop cenderung mengalami penurunan (Nurul Khotimah, 2016), dan perusahaan Cineplek 21 Group juga telah melakukan pembenahan dan pembaharuan dengan membentuk jaringan bioskopnya menjadi tiga merek terpisah, yaitu Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premier sebagai strategi bisnis menyikapi keadaan ini (Patricia, 2010). Wallahu A'lam...