14 Nelayan Hilang Sejak 2017, Diduga Tenggelam di Laut

Informasi ini disampaikan Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftachhuddin Cut Adek saat melakukan pertemuan dengan dua anggota DPRA

Editor: bakri
SERAMBI/MASRIZAL
Dua anggota DPRA, Iskandar Usman Al Farlaky dan Tarmizi melakukan pertemuan dengan pengurus Panglima Laot Aceh di ruang Banmus DPRA, Kamis (20/2/2020). 

BANDA ACEH - Kabar mengejutkan disampaikan Panglima Laot Aceh terkait kondisi nelayan di Serambi Mekkah ini. Sebanyak 14 nelayan asal Idi, Aceh Timur,  sudah tiga tahun hilang secara misterius dan tidak diketahui nasibnya hingga sekarang.

Informasi ini disampaikan Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftachhuddin Cut Adek saat melakukan pertemuan dengan dua anggota DPRA, yaitu Iskandar Usman Al-Farlaky dan Tarmizi di ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRA, Kamis (20/2/2020).

Dalam pertemuan itu juga hadir Ketua Panglima Laot Aceh T Bustamam dan beberapa pengurus lembaga tersebut. "Ada 14 nelayan dari Idi tidak diketahui keberadaannya sejak 2017," kata Miftachhuddin.

Pernyataan itu membuat Iskandar terkejut. Iskandar selama ini konsen mengadvokasi kasus nelayan Aceh yang ditangkap otoritas negara lain karena melewati batas negara. Bahkan pria asal Aceh Timur itu mengaku tidak pernah mendengar informasi tersebut.

"Ditenggarai mereka (ke 14 nelayan) tenggelam di laut karena ada ditemukan kayu dan fiber yang hanyut. Diperkirakan mereka tenggelam antara laut Aceh dan Thailand," ungkap Miftachhuddin.

Miftachhuddin menyatakan tidak ingat lagi nama boat nelayan yang hilang itu. Yang pasti, sejak 2017 hingga saat ini pihaknya tidak mendapatkan informasi apa pun tentang nelayan asal Idi, Aceh Timur, tersebut.

Dalam pertemuan itu, Panglima Laot Aceh juga menyampaikan saat ini ada 59 nelayan yang ditahan di Thailand, Myanmar, dan Andaman (India). Sebanyak 33 orang--4 orang di antaranya anak-anak--ditahan di Thailand, 25 orang di Andaman, dan 1 orang di Myanmar.

Nelayan yang ditahan di Myanmar ditangkap pada November 2018 itu atas nama Jamaluddin dan saat ini sedang menjalani hukuman selama tujuh tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan Myanmar. Jamaluddin baru menjalani hukuman satu tahun.   

"Terhadap 59 orang ini kita belum ketahui bagaimana nasib mereka. Kita berharap mereka bisa dibebaskan. Kalau pun dihukum bisa dihukum ringan. Kalau diminta denda kita berharap pemerintah bisa memikirkannya secara bersama," ujarnya.

Ada beberapa penyebab nelayan Aceh ditangkap oleh otoritas negara tetangga, seperti rusak mesin, terhalang kabut saat hendak pulang, dan kebanyakan tidak mengetahui batas wilayah negara saat sedang mencari ikan.

Sementara negara yang sering dilewati adalah Thailand, Myanmar, India, Banglades, dan Malaysia. "Yang paling banyak dilewati itu India, karena kita dekat sekali dengan India, sekitar 80 mil laut dari Sabang sudah sampai ke perbatasan India," katanya.

Selain India, negara lain yang sering dilewati nelayan Aceh yaitu Thailand dan Malaysia. Ia berharap Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat bisa menjalin hubungan dengan negara tetangga untuk tidak menahan nelayan Aceh dengan kapal GT berkapasitas kecil yang kedapatan melewati perbatasan negara.

"Selama ini perhatian Pemerintah Aceh bagus. Kita berharap kita bisa meningkatkan hubungan dengan negara lain, agar nelayan-nelayan kita bisa dibebaskan jika kedapatan melewati batas negara," ungkap Miftachhuddin.

Selama ini, sambung Miftachhuddin, lembaga Panglima Laot Aceh juga konsen melakukan advokasi ketika ada nelayan Aceh yang ditangkap otoritas negara tetangga. Setidaknya, hingga 2019 sudah 197 nelayan Aceh yang berhasil dibebaskan dari beberapa negara.

Dalam pertemuan itu juga mengemukan pernyataan agar Pemerintah Aceh melalui Dinas Sosial dan Baitul Mal untuk memperhatikan kondisi keluarga nelayan yang ditangkap di negara lain. Sebab, rata-rata mereka yang melaut kebanyakan dari kalangan keluarga miskin.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved