Kisah Inspiratif
Kisah Putra Aceh The Big Boss Trans Continent, Doa Ayah dan Ibu Membuat Semuanya Serba Mungkin
Berbekal petualangannya ke tiga negara jiran, membuat Ismail Rasyid menjadi lebih pede dalam mengarungi kehidupan di Batam.
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
Ini merupakan bagian kedua dari tulisan kisah hidup Ismail Rasyid, CEO PT Trans Continent asal Matangkuli Aceh Utara. Untuk membaca tulisan bagian pertama bisa diklik di SINI.
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Setelah sempat dua bulan melanglang buana ke Singapura, Malaysia, dan Thailand, Ismail Rasyid akhirnya memutuskan kembali ke Batam, tempat pertama kali dia mulai menemukan kehidupan.
Berbekal petualangannya ke tiga negara jiran, membuat Ismail Rasyid menjadi lebih pede dalam mengarungi kehidupan di Batam.
Saat itu, tahun 1994, Ismail Rasyid mulai mendapatkan pekerjaan yang diidamkannya.
Dia diterima di perusahaan multi moda, mirip dengan perusahaan yang dimilikinya sekarang.
Berbekal pengalaman dan sedikit bahasa Inggris, Ismail Rasyid langsung klop dengan pekerjaan barunya ini.
Hingga sang pemilik perusahaan memercayakannya sebagai penggerak utama perusahaan baru itu.
Di tangan Ismail Rasyid perusahaan itu tumbuh pesat hingga memiliki beberapa cabang di luar Batam.
Tapi, lagi-lagi tantangan datang.
Hanya tahun, terjadi pergantian manajeman dan Ismail dimutasi ke Jakarta.
“Hanya satu bulan, saya merasa tidak betah di Jakarta, akhirnya saya resign dan kembali ke Batam,” ungkap Ismail dalam bincang santai di Newsroom Serambi Indonesia, di Banda Aceh, Selasa (25/2/2020).
• KISAH Inspiratif - Proposal Unik, Aneh bin Ajaib Wujudkan Mimpi Misbahul Munawar Kuliah di Eropa
• Kisah Inspiratif Relawan dari Pidie, Ikhlas Cerdaskan Yatim Tanpa Dibayar
Di Batam, Ismail Rasyid kembali mendapatkan pekerjaan seperti yang baru saja ditinggalkannya.
Ini adalah perusahaan ketiga yang mengangkat dia sebagai karyawan tetap.
Perusahaan ketiga ini perusahaan multinasional yang dimiliki oleh warga Perancis.
Di perusahaan ini, Ismail Rasyid dengan cepat mendapat kepercayaan penuh untuk menjalankan operasional.
“Ini terjadi pada awal tahun 1996. Di perusahaan asing ini saya mulai bekerja dengan project, tepatnya proyek perminyakan. Hampir 100% tentang perminyakan,” ujarnya.
Sejak itu, Ismail Rasyid mulai sibuk dengan aktivitas bongkar muat logistik, terutama untuk kebutuhan perminyakan.
Dalam satu minggu, Ismail dan kawan-kawan mengurusi pemuatan logistik untuk 3 sampai 4 kapal yang akan diberangkatkan ke luar Batam, mulai dari Pekanbaru, Pulau Jawa, hingga Papua.
Ismail mulai menikmati kerjanya di perusahaan pengangkutan logistik ini.
Karirnya yang dimulai dari tenaga operation, meningkat pelan-pelan, menjadi operation manager, brands manager, deputi general manager, hingga general manager.
Puncaknya, pada tahun ke delapan, Ismail Rasyid mendapatkan kepercayaan penuh dari owner, hingga dia ditunjuk menjadi managing director.
“Jadi total selapan tahun setengah saya mengabdi di perusahaan itu. Saya membangun perusahan itu growth-nya sudah 350 karyawan dengan 8 cabang,” ungkap Ismail.
Klien pun semakin berkembang.
Ismail mulai kerap bepergian, bolak balik dari Pekanbaru, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Natuna, hingga Papua.
“Kepercayaan owner kepada saya waktu itu 95% lah kira-kira. Dia tetap mengontrol setiap laporan. Tapi waktu itu saya tidak memikirkan soal keuangan, hanya urus operasional,” papar Ismail Rasyid.
Posisi managing director dijabat Ismail Rasyid pada tahun 2002.
“Ketika itu saya masih tinggal di Balikpapan. Karena posisi baru tersebut, maka enggak ada pilihan, saya harus tinggal di Jakarta. Padahal saat itu, saya masih berat untuk tinggal di Jakarta,” ujarnya.
Ismail memilih tinggal di daerah kuningan.

Doa Orang Tua
Menurut dia, posisi managing director dengan kepercayaan penuh dari owner, merupakan hasil dari kerja keras dan doa kedua orang tuanya di Matangkuli Aceh Utara.
Di sela-sela kesibukannya, Ismail selalu menyempatkan diri pulang ke Matangkuli Aceh Utara, untuk menemui dan menyuapkan nasi kepada ayah dan ibunya yang sudah mulai renta.
Kesempatan bertemu orang tunya dilakukan oleh Ismail hampir setiap kali dia mendapatkan tugas bertemu klien di luar negeri.
“Seperti saat hendak pergi ke India kemarin, saya juga pulang ke Matangkuli, minta izin dan doa restu dari Mak dan Ayah,” ungkap Ismail sambil menunjukkan foto momen saat dia menyuapkan mangga ke mulut ayahnya di atas ranjang rumah sakit.

Izin dan doa restu dari kedua orang tua, saudara, serta teman-temannya di kampung halaman, menjadi vitamin tambahan bagi Ismail Rasyid dalam menghadapi klien.
“Saya bangun hubungan baik dengan semua stakeholder, pelayaran, bea cukai, imigrasi, syahbandar, termasuk dengan TNI AL, AD, AU, dan Polri. Pokoknya dengan semua pihak yang berkaitan dengan pekerjaan saya. Karena kita juga ngurusin kapal-kapal asing,” ujarnya.

Jaringannya semakin terbuka luas seiring semakin seringnya Ismail Rasyid bolak balik ke kantor imigrasi dan depnaker untuk mengurus dokumentasi dan administrasi tenaga kerja asing yang bekerja di atas kapal milik klien.
“Saya terbiasa ngurusin visa-visa orang, ngurusin suplai untuk makanan kapal, serta ngurusin warehouse semua barang-barang logistik yang masuk dari seluruh wilayah,” kata Ismail.
Menurutnya, saat itu Batam menjadi lokasi penyimpanan logistik perminyakan.
Semua barang masuk ke Batam dulu, baru kemudian didistribusikan ke luar.
“Nah, fungsi inilah yang harusnya dikembangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas (free port),” kata Ismail.
Semua barang yang masuk ke pelabuhan bebas (seperti Batam dan Sabang) tanpa proses importasi, tapi hanya pencatatan biasa.
Pencatatan sebagai barang impor baru dilakukan jika ke luar dari pelabuhan bebas ke daerah pabean lain di Indonesia.
“Tapi kalau dikirim lagi ke luar negeri tidak ada masalah. Tidak ada proses impor-ekspor, karena hanya singgah saja. Nah ini yang belum dilakukan di Sabang pada era pelabuhan bebas dan perdagangan bebas saat ini,” papar Ismail Rasyid.
Jaringan dan kepercayaan yang terbangun di hampir seluruh Indonesia, menjadi modal tak ternilai bagi Ismail dalam memulai bisnis selanjutnya.

Resign Karena Terpaksa
Namun, setelah 8,5 tahun bekerja di perusahaan itu, persoalan kembali muncul.
Tapi kali ini bukan karena masalah kerja, tapi karena imbas problem keluarga pemilik perusahaan.
Suami dan istri yang sama-sama sebagai owner perusahaan itu memutuskan bercerai, sehingga membuat Ismail Rasyid berada dalam kesulitan.
Ia tidak bisa mengambil keputusan saat suami atau istri yang sudah berpisah dan memiliki perusahaan masing-masing, mengajaknya bergabung.
“Saya harus menjaga perasaan kedua mereka. Maka, saya tolak ajakan keduanya. Saya tetap berusaha menjaga perusahaan awal yang mereka dirikan bersama-sama. Tapi karena situasi semakin rumit, akhirnya saya resign,” ungkap Ismail.
Saat itu, Ismail sempat beristirahat dari kerja.
Dia belum memutuskan untuk bekerja di tempat lain ataupun mendirikan perusahaan sendiri.
“Ketika itu belum ada rencana apa-apa. Karena masih bingung dengan situasi yang terjadi. Pada saat itu saya masih diberikan fasilitas oleh perusahaan, karena kedua-duanya masih sangat percaya kepada saya,” kata Ismail.
Ia menolak beberapa ajakan bekerja dari jaringan dan klien kerja yang sudah dibinanya.
• Nuraini, Sosok Kepala SMA di Aceh yang Inspiratif, Ini Sederet Prestasinya
Mendirikan Trans Continent
Hingga kemudian, seorang klien memberikan saran dan dukungan finansial agar Ismail berani ke luar dari masalahnya, dan memulai kehidupan baru dengan merintis perusahaan sendiri.
“Klien itu bilang, kenapa kamu enggak jalankan perusahaan sendiri aja. Kamu bias memulai bisnis dengan perusahaan sendiri sebagai klien dari perusahaan saya. Kira-kira tawarannya, ‘perusahaan kamu membantu perusahaan saya,’” kata Ismail menceritakan kembali awal mulai dia mendirikan Trans Continent.
Berbekal jaminan dari orang tersebut, Ismail mulai berpikir tentang cara mendirikan perusahaan dengan modal pas-pasan.
“Kamu set aja perusahan, kamu udah bisa jalan. Dia tidak kasih uang, tapi dia minta perusahaan saya mengangkut logistiknya, untuk sewa kapal dia bayar lebih awal (bayar di muka),” papar Ismail Rasyid.
Setelah ide dan dukungan itu benar-benar mantap, Ismail Rasyid kemudian benar-benar mengajukan resign kepada perusahaan lamanya.
Butuh 6 bulan hingga pengajuan pengunduran dirinya dikabulkan.
Selesai transisi dan proses resign, Ismail mulai merintis perusahaan Trans Continent.
“Perusahaan ini lahir bulan November 2003, tapi itu masih proses transisi, baru pada akhir 2004 benar-benar jalan. Jadi antara proses di perusahaan pertama dengan kedua sangat transparan. Dan sampai sekarang hubungan saya dengan owner lama itu masih bagus,” ungkap Ismail.
Bumi terus berjalan. Ismail Rasyid kembali sibuk dengan berbagai aktivitas di perusahaannya.
Dia melanglangbuana dari lautan, udara, hingga masuk dan ke luar hutan di berbagai negara, untuk melayani kepentingan kliennya.
Semua jenis barang legal diangkutnya.
Dari makanan, limbah medis, hingga bahan-bahan peledak untuk kepentingan pertambangan.
Namanya semakin terkenal, karena ia menjadi pengusaha pengangkutan pertama di Indonesia yang berani mengangkut bahan kimia berbahaya sianida serta bahan baku nuklir.
Keberanian, kepercayaan, dan jaringan yang dimilikinya hingga bisa mengangkut berbagai jenis barang berbahaya itu, membuat perusahaannya banyak mendapat orderan.
“Alhamdulillah, sekarang Trans Continent ada 19 cabang di 11 Provinsi di Indonesia, dari barat ke timur. Dengan jumlah karyawan sekitar 400an orang,” ungkap Ismail Rasyid.
Adapun provinsi yang memiliki kantor cabang Trans Continent adalah Aceh (baru dibuka), Sumut, Sumsel, Banten, DKI Jakarta, Jatim, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Sulsel, Maluku Utara.
“Saat ini kita juga sedang proses membuka kantor di Gorontalo dan Yogyakarta,” ujarnya.
Selain di Indonesia, Trans Continent juga memiliki kantor cabang di Perth Australia dan kawasan industri Subic di Filipina.
“Kantor di Perth Australia itu sudah aktif sejak beberapa tahun lalu, sekarang kita ada kontrak internasional untuk ke Indonesia,” ujarnya.
“Satu lagi ada di Filipina, di kawasan industri Subic. Kenapa kita buka di Filipina, karena kita juga memiliki kantor cabang di Manado yang sangat dekat dengan Davao Filipina,” kata dia.
Menurutnya, Manado Indonesia dengan Davao Filipina, kurang lebih seperti Aceh dengan Andaman India.
Bedanya, antara Manado dan Davao malah sudah pernah ada pelayaran ferry langsung dan kerja sama dalam berbagai bidang.
“Dulu ketika Bouraq Indonesia Airlines masih beroperasi juga ada penerbangan langsung Manado-Davao. Kemudian Lion Air dalam beberapa tahun juga sempat melayani jalur ini, meski sekarang stop. Tapi kita melihat ini adalah peluang bagus bagi bisnis,” kata Ismail.
Perusahaan milik Ismail Rasyid masuk ke wilayah itu melayani pengangkutan kebutuhan logistik industri di Sulawesi Utara dan Filipina.
Dengan pengalaman di Manado dan Davao, bagaimana Ismail Rasyid melihat peluang kerja sama Aceh dengan Andaman Nicobar?
“Saya sangat optimis. Karena ada kepentingan kerja sama saling menguntungkan di sana. Apalagi saya melihat langsung pihak India sangat serius dengan hal ini,” kata Ismail Rasyid.
“Bayangkan, delegasi Aceh yang dipimpin Plt Gubernur Nova Iriansyah, diterima oleh dua menteri India (Menteri Urusan Luar Negeri dan Menteri Perdagangan dan Perindustrian), serta dua gubernur (Chennai dan Andaman & Nicobar),” lanjutnya.
“Tapi nantilah, kita bekerja dulu. Mudah-mudahan semua pihak di Aceh sepakat dan memberikan dukungan, agar aktivitas ekspor dan impor kita bisa segera bergeliat,” pungkas Ismail Rasyid.(Agus Ramadhan/Zainal Arifin M Nur)
Data Diri:
Nama: Ismail Rasyid SE
Lahir: Matangkuli Aceh Utara, 3 Juli 1968
Istri: Erni Molisa (alumnus Fakultas Ekonomi Unsyiah) Kelahiran 1976
Menikah tahun 2001 di Lhokseumawe
Anak:
1. Jibril Gibran (lahir Jakarta 8 Januari 2003) pendidikan SMA (ISWA International School of Western Australia) di Perth Australia
2. Syifa Aulia ( lahir Balikpapan 19 Oktober 2005) Pendidikan ISWA International School of Western Australia) di Perth Australia
Domisili: Jakarta dan Perth Western Australia