SALAM SERAMBI
Jam Malam Dicabut, Bukan Berarti Ancaman Berakhir
HARIAN Serambi Indonesia Pada hari Minggu kemarin mewartakan bahwa Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh
HARIAN Serambi Indonesia Pada hari Minggu kemarin mewartakan bahwa Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh resmi mencabut status penerapan jam malam dan percepatan penanganan virus Corona di Aceh.
Pencabutan itu dituangkan dalam Maklumat Bersama Forkopimda Aceh pada tanggal 4 April yang intinya mencabut maklumat sebelumnya tentang Penerapan Jam Malam dalam Penanganan Covid-19 di Aceh sejak tanggal 29 Maret hingga 29 Mei 2020.
Pencabutan maklumat bersama didahului oleh pro kontra karena banyak kalangan yang menilai pemberlakuan jam malam membuat perekonomian mayoritas masyarakat Aceh terpuruk, karena tak bisa lagi berusaha pada malam hari.
Pemberlakuan jam malam juga membuat suasana Aceh terkesan sangat mencekam dan hal ini mengembalikan memori banyak warga pada traumatik semasa konflik. Yakni, saat diterapkannya status darurat militer maupun darurat sipil.
Selain pertimbangan di atas, telah pula keluar Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tanggal 31 Maret 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19, di samping adanya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 20 pada tanggal 31 Maret tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Dalam maklumat itu disebutkan bahwa untuk penerapan pembatasan sosial berskala besar di seluruh Aceh secara administratif bupati/wali kota dapat mengusulkannya kepada Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Sebagai media yang merasakan langsung suasana masa konflik yang diwarnai darurat militer dan darurat sipil, Serambi Indonesia mengapresiasi langkah positif yang ditempuh Forkopimda Aceh untuk mencabut pemberlakuan jam malam.
Hal ini kita hargai sebagai tindakan yang benar dan tepat, karena telah memenuhi harapan mayoritas publik agar adanya kemudahan berusaha dan beraktivitas di malam hari.
Selain itu, peniadaan jam malam tersebut juga besar faedahnya untuk mencegah terjadinya perlakuan kasar atau bahkan tindak kekerasan oleh aparat keamanan yang dilibatkan mengawal efektivitas pemberlakuan jam malam, seperti terjadi dulu pada masa konflik.
Akan tetapi, telah dicabutnya jam malam sejak malam kemarin di Aceh, bukan berarti ancaman virus corona berakhir sudah. Data menunjukkan bahwa jumlah pasien positif corona memang belum bertambah, tetap lima orang. Akan tetapi, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) terus meningkat.
Jumlah ODP di Aceh saat ini hampir mendekati 1.200 orang, sedangkan PDP tercatat 52 kasus, bertambah 3 kasus dari sehari sebelumnya. Peningkatan jumlah ODP dan PDP di provinsi tetangga kita yakni Sumatera Utara juga meningkat tajam. Demikian pula di provinsi lainnya di Indonesia.
Realitas ini mengharuskan kita untuk tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk menjaga jarak (physical distancing), bekerja dari rumah, beribadah di rumah, dan tetap membiasakan cuci tangan, menjaga kebersihan, menghindari kerumunan, serta memakai masker saat ke luar rumah.
Hal ini senada dengan maklumat bersama Forkopimda Aceh bahwa untuk percepatan penanganan Covid-19 di provinsi paling barat Indonesia ini, warga diseru untuk memusatkan segala kegiatannya di rumah dan serius menghindari pusat keramaian dan fasilitas umum. Termasuk aktivitas keagamaan yang melibatkan orang banyak.
Selain itu, pengelolaan kegiatan ekonomi wajib pula menerapkan kaidah-kaidah menjaga jarak antarsesama atau disebut dengan istilah ‘physical distancing’.
Tentu saja maklumat yang meniadakan jam malam tersebut dikeluarkan untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab.
Seiring dengan itu kita imbau masyarakat yang berstatus ODP untuk melakukan karantina mandiri di kediaman masing-masing. Jangan berbaur dulu dengan warga lain, sebab jika ada ODP yang berkeliaran, maka setiap hari akan terus bertambah ODP bahkan PDP baru di Aceh. Ingat, meskipun tanpa jam malam Anda tetap berpeluang tertular virus corona atau menulari orang lain.