Salam

Geng dan Gagalnya Pembinaan Sosial

Peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas. Ia adalah cermin retak dari pembinaan sosial yang gagal menyentuh akar persoalan remaja.

Editor: mufti
SERAMBINEWS.COM/ RAHMAD WIGUNA
Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, AKP Donna Briadi (tengah) didampingi Wakasat Iptu Julpandi, Kanit PPA Ipda T Syahrizal dan Kasi Humas Iptu Erfan Gustiar saat menyampaikan update kasus pembacokan di Mapolresta setempat, Senin (22/9/2025). 

TIM Resmob Satreskrim Polresta Banda Aceh menangkap dua remaja pelajar asal Banda Aceh, MSRH (18) dan MAA (16), atas kasus pembacokan dan perampasan sepeda motor di Jalan Pangeran Diponegoro, Pasar Aceh, Minggu (21/9/2025) dini hari. Mereka ditangkap kurang dari 24 jam setelah kejadian.

Peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas. Ia adalah cermin retak dari pembinaan sosial yang gagal menyentuh akar persoalan remaja. Ketika pelajar terlibat dalam kekerasan jalanan, kita patut bertanya, di mana peran keluarga, sekolah, dan lingkungan?

Kapolresta Banda Aceh melalui Kasat Reskrim AKP Donna Briadi menjelaskan bahwa motif pembacokan berasal dari perselisihan antar kelompok remaja. "Perselisihan antara kelompok TAM dan IKAO, berujung terjadinya peristiwa pembacokan serta perampasan sepeda motor milik korban berinisial MIS (16) status pelajar," kata Donna sebagaimana diberitakan Serambi, Selasa (22/9/2025).

Dua nama yang disebut, TAM (Timur Anti-Mundur) dan IKAO (Ikatan Keluarga Anti-Onar), terdengar seperti jargon solidaritas, namun nyatanya menjadi wadah konflik yang berujung pada luka fisik dan trauma sosial.

Insiden ini adalah alarm keras tentang kondisi sosial kita yang kian rapuh. Ketika anak-anak belia terlibat dalam aksi kekerasan yang brutal, kita sedang menghadapi krisis identitas dan arah hidup generasi muda.

Ironisnya, pemicu aksi ini hanyalah perselisihan antaranggota yang dibakar lewat ajakan di grup WhatsApp. Teknologi yang seharusnya mendekatkan, justru menjadi alat pemantik amarah. Solidaritas semu dalam geng menggantikan nilai kebersamaan yang sehat.

Polresta Banda Aceh telah bertindak cepat dan tegas. Namun penegakan hukum hanyalah ujung dari rantai panjang pencegahan. Kita butuh pendekatan menyeluruh: pendidikan karakter, ruang ekspresi positif, dan penguatan nilai sosial.

Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang pembentukan watak. Sayangnya, banyak institusi pendidikan terlalu fokus pada capaian akademik dan abai terhadap pembinaan mental serta sosial.

Keluarga pun memegang peran sentral. Di tengah tekanan hidup, banyak orang tua kehilangan waktu untuk mendampingi anak-anak mereka. Akibatnya, remaja mencari kehangatan dalam kelompok sebaya, meski berisi nilai-nilai menyimpang.

Lingkungan sosial kita perlu berbenah. Minimnya ruang publik yang sehat membuat jalanan dan ruang virtual menjadi panggung utama remaja. Kita perlu ekosistem yang mendukung tumbuhnya komunitas kreatif dan kegiatan sosial yang membangun.

Aceh, dengan sejarah perjuangan dan adat yang kuat, tak seharusnya membiarkan anak-anak mudanya tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan. Modal budaya dan agama harus diaktifkan, bukan hanya dikenang.

Mari kita rawat generasi ini dengan kasih, bukan dengan luka. Masa depan Aceh bukan milik geng, tapi milik anak-anak yang tumbuh dalam damai, dididik dengan cinta, dan diarahkan dengan bijak. Ini bukan sekadar refleksi, tapi ajakan untuk bertindak sebelum luka sosial makin menganga.(*)

 

POJOK

Persiraja juru kunci

Karena semangat tak selalu diukur dari skor, ya kan?

Sekda Aceh pacu legalitas 1.630 sumur minyak rakyat

Oke, tapi sekarang APBA-P yang paling mendesak Pak

Kapolda bekukan penggunaan sirine pengawalan VVIP

Hehe... Selamat datang di Indonesia versi rakyat biasa

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Nyawa Perdamaian Itu Bernama Otsus

 

BLT Penyangga, Bukan Solusi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved