Opini

Saatnya Kita Kembali ke Sie Tumpôk  

Ma'meugang tinggal menghitung hari. Menurut perkiraan yang jamak berkembang, 1 Ramadhan tahun ini akan jatuh pada 24 April

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Saatnya Kita Kembali ke Sie Tumpôk   
IST
Bustami Abubakar, Dosen Antropologi Fakultas Adab & Humaniora UIN Ar-Raniry; Sekretaris Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Provinsi Aceh

Oleh Bustami Abubakar, Dosen Antropologi Fakultas Adab & Humaniora UIN Ar-Raniry; Sekretaris Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Provinsi Aceh

Ma'meugang tinggal menghitung hari. Menurut perkiraan yang jamak berkembang, 1 Ramadhan tahun ini akan jatuh pada 24 April. Ini bermakna ma'meugang akan dilaksanakan pada 22-23 April. Pertanyaannya, bagaimana situasi dan kondisi ma'meugang di Aceh di tengah teror Covid-19?

Merujuk kepada suasana ma'meugang dalam masa-masa konflik bersenjata dan masa setelah musibah tsunami, ma'meugang kali ini pun akan dilakoni orang Aceh seperti masa-masa sebelumnya, ramai dan meriah. Bagi orang Aceh, "teror" ma'meugang berada bertingkat-tingkat di atas "teror" warung kopi. Sulit dibantah bahwa ngopi di warung kopi/cafe telah menjadi bagian dari kebudayaan orang Aceh, sehingga muncul ungkapan: "Jép kuphi dilè, jeut bek pungo" (ngopi dulu supaya tidak gila).

Saya tak perlu membahas di sini bagaimana emosi, cara berpikir, cara bicara, dan tindakan kebanyakan orang Aceh bila tidak dialiri kopi di dalam darahnya, meski sehari saja. Tetapi, bagaimanapun eratnya kopi mengikat jiwa dan budaya orang Aceh, secara kebudayaan, ngopi tetap saja masih berada dalam zona profan. Sedangkan ma'meugang berada dalam wilayah sakral dalam jagad kebudayaan orang Aceh.

Apa makna ma'meugang bagi orang Aceh? Dalam bulan Nopember 2001, satu artikel saya yang berjudul "Ma'meugang: Sebuah Potret Kerukunan" telah dimuat di Serambi Indonesia. Dalam artikel itu, saya menukilkan arti penting ma'meugang bagi orang Aceh. Di samping sebagai hari berkumpul bagi anggota keluarga sambil memasak dan makan daging, sakralitas ma'meugang sesungguhnya terletak pada adanya kewajiban bagi seorang suami membawa pulang daging (puwoe sie) ke rumahnya. Apapun profesi dan berapa pun pendapatan suami, pada hari itu dia merasa berkewajiban puwoe sie untuk dimasak dan disantap anggota keluarganya. Jika tidak, dia akan "kehilangan muka" dan merasa seperti bukan seorang laki-laki.

Untuk itu, si suami akan berupaya dengan bebagai cara: menabung jauh-jauh hari, minta kepada pemilik hewan sembelihan untuk dilibatkan sebagai pekerja sehingga akan mendapatkan daging sebagai upah, atau meminjam uang pada orang lain atau langsung mengambil daging, sementara pembayarannya kemudian. Itulah sebabnya, meskipun harga daging meroket pada hari ma'meugang, masyarakat tetap mengular untuk membelinya. Sebab, ia bukan daging yang berharga secara ekonomi semata, tetapi juga daging bernilai budaya.

Masa lalu

Dalam tiga dasawarsa terakhir, praktik penjualan daging pada hari ma'meugang mengalami perubahan, terutama di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Sekarang, ketika ma'meugang tiba, para pedagang daging berjejer sepanjang jalan menjajakan dagangannya. Dahulu, pedagang daging yang berjualan di pinggir jalan atau di pasar tak seramai sekarang. Mengapa demikian? Orang Aceh semenjak dulu sampai_-setidaknya__awal 90-an, jarang membeli daging kiloan. Kelaziman mereka membeli daging tumpuk (sie tumpôk). Caranya sekelompok orang bersepakat membeli seekor lembu secara meuripè (patungan/urunan).

Model lain adalah si pemilik lembu menyampaikan kepada tetangga dan masyarakat bahwa dia bermaksud menyembelih hewannya itu untuk ma'meugang. Lalu, siapa saja yang berminat dapat mendaftar sebagai pembeli. Pembayaran bisa dilakukan secara tunai, bisa juga dengan cara menyicil. Tak jarang terjadi, bagi kalangan kurang mampu secara ekonomi, cicilan itu dilunasi sampai bertemu dengan ma'meugang tahun depan, untuk kemudian ikut membeli lagi dengan cara yang sama. Pekerjaan penyembelihan hingga ke tahap pembagian daging juga dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok itu.

Jika diperlukan tenaga dari luar kelompok, baik dikarenakan keperluan akan keahlian tertentu maupun atas permintaan dari orang yang tak mampu membeli daging, maka upah untuk orang dari luar kelompok itu diberikan dalam bentuk daging. Lazim pula terjadi, pekerjaan penyembelihan hingga pembagian diupahkan kepada orang lain, sedangkan anggota kelompok datang ke lokasi penyembelihan hanya mengambil jatahnya.

Daging yang didapatkan juga bukan dalam satuan kilogram, melainkan dalam ukuran tumpuk, yang disebut sie tumpôk. Setiap tumpôk sama besar yang terdiri dari semua bagian tubuh sapi. Jadi masing-masing orang akan mendapatkan daging, hati, usus dan sebagainya relatif sama banyak. Itulah sebabnya, sie tumpôk juga disebut sie brèn. Menurut pemerhati sejarah dan budaya Aceh, Drs. Nurdin AR, M.Hum, kata brèn dikonotasikan dengan senjata serbu M-16 yang disebut orang Aceh dengan brèn. Disebut sie brèn, karena nyaris semua bagian tubuh sapi ada dalam sie tumpôk.

Seorang anggota kelompok boleh saja membeli lebih dari satu tumpôk. Harga daging per tumpôk ditentukan dengan cara: harga sapi dibagi jumlah pembeli. Penyembelihan dan pembagian sie tumpôk bisa terjadi dikarenakan ada semangat saling membantu, saling bekerjasama yang diikat solidaritas sosial yang kuat. Semangat yang dibangun bukanlah mencari keuntungan semata, tetapi kebersamaan. Setiap orang, terutama para pimpinan gampong dan orang yang berkemampuan secara ekonomi, akan memastikan bahwa saudaranya, tetangganya, dan masyarakatnya__tak peduli status sosial dan derajat pendapatannya__puwoe sie ke rumahnya hari itu.

Bagi anak yatim, janda miskin atau siapa saja yang memang tidak mempunyai kemampuan membeli daging, mereka tetap dapat makan daging seperti orang lain yang diberikan tetangga dan kerabat. Daging yang diberikan itu ada kalanya telah dimasak, ada juga yang masih mentah (belum diolah). Ada juga orang yang mengundang mereka untuk makan di rumahnya.

Masa Covid-19

Di tengah serangan Covid-19 yang mewabah ke berbagai penjuru dunia dan memaksa orang meninggalkan aktivitas di ruang publik (stay at home) serta menjaga jarak (physical distancing), kedatangan ma'meugang tentu membawa kegalauan, terutama bagi para pekerja dengan pendapatan/upah harian. Pendapatan mereka tersumbat, sementara ma'meugang dan bulan puasa tinggal sekedipan mata.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved