Ramadhan 1441 H
Ini Empat Golongan yang Mendapatkan Keringanan tak Berpuasa Ramadhan
Seluruh umat muslim di dunia wajib hukumnya menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Namun empat golongan ini mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.
SERAMBINEWS.COM – Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia.
Bulan yang penuh dengan keberkahan dan ampunan ini hanya datang sekali dalam setahun.
Di dalam Bulan Ramadhan, seluruh umat muslim di dunia wajib hukumnya untuk menunaikan ibadah puasa.
Namun, terdapat golongan yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa.
Siapakah golongan tersebut? Berikut penjelasan Muhammad Abduh Tuasikal dalam bukunya yang berjudul ‘Panduan Ramadhan : Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah’.
Orang yang sakit
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al Baqarah : 185,
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain,”
Orang sakit yang boleh tidak berpuasa adalah jika mendapatkan mudarat dengan puasanya.
Orang yang bersafar
Dalil seseorang musafir boleh tidak berpuasa adalah firman Allah Ta’ala “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain,” (QS. Al Baqarah : 185).
Musafir punya pilihan boleh tidak berpuasa ataukah tetap berpuasa.
Dari Abu Sa’id Al Khudri dan Jabir bin ‘Abdillah, mereka berkata,
“Kami pernah bersafar bersama Rasulullah SAW, maka ada yang tetap berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Namun mereka tidak saling mencela satu dan lainnya,”
Namun, manakah yang lebih utama baginya, apakah berpuasa ataukah tidak? Berikut tiga kondisinya
Pertama, jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Kedua, jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai kebaikan, maka pada saat itu lebih utama untuk berpuasa.
Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban dan lebih mudah berpuasa dengan orang banyak daripada sendirian.
Ketiga, tetap berpuasa malah membinasakan diri sendiri, maka wajib tidak berpuasa.
Orang yang suda tua renta (sepuh)
Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu berpuasa, juga berlaku bagi untuk orang yang tidak bisa sembuh lagi dari sakitnya.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al Baqarah : 184,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jka mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin,”.
Begitu pula riwayat berikut ini,
“Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jka mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin,”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlau untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduannya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa,”.
Wanita Hamil dan Menyusui
Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui,”
As Syairozi, salah seorang ulama Syafi’i berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada keadaan dirnya, maka keduannya boleh tidak berpuasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit.
Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduannya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tida pendapat,”.
Imam Nawawi berkata, “Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya orang yang sakit.
Permasalahan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun tetap ada qadha’. Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut madzhab Syafi’i.”
Sedangkan mewajibkan hanya menunaikan fidyah saja bagi wanita hamil dan menyusui tidaklah tepat.
Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain.
Imam Ahmad sampai berkata, “Aku lebih cenderung memegang hadits Abu Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.”
Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah dan Imam Abu Hanifah.
Inilah pendapat terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat, QS. Al Baqarah : 185,
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain,”.(Serambinews.com/Agus Ramadhan)
• Kasus Main Parang di Nagan Raya, Tersangka tidak Terima Gajinya Dipotong
• 5 Fakta Meninggalnya Ibunda Nunung Karena Kanker Lidah, Awalnya Sariawan hingga Permintaan Terakhir
• Unik, Pisang Kepok di Singkil Ini Tandan Buahnya Menyangga Langit, Ini Manfaat Ajaibnya
• Ini Empat Bekal Ilmu Yang Mesti Diketahui Sebelum Ramadhan