Kisah Miris Keluarga Miskin di Jember saat Corona, Tak Dapat Bansos, Jual Mangkok & Gelas Buat Makan
Triyata adalah satu contoh dari warga di kawasan perkotaan Jember yang tidak tersentuh bantuan pemerintah.
Suaminya bekerja di Pulau Kalimantan dan hanya mengirimkan uang Rp 500.000 per bulan.
Uang itu hanya dipakai untuk biaya sekolah anak bungsu.
"Kalau untuk makan dan lain-lain, saya nyari sendiri. Dulu ketika saya masih jadi pembantu, saya punya penghasilan."
"Bahkan ketika stroke, saya sempat masih kerja. Meskipun beberapa bulan ini sudah tidak bekerja," kata Triyata.
Triyata masih bisa berjalan meskipun pelan, dengan cara berbicara yang tersendat karena serangan stroke tersebut.
Di sisi lain, dia harus melunasi utangnya kepada sejumlah 'bank tithil' atau koperasi simpan pinjam yang menerapkan pembayaran setiap minggu.
• Trending di Twitter Karyawan Gaji 80 Juta Kena PHK, Tabungan Menipis dan Kebingungan
• Khawatir Muncul Gelombang ke-2 Virus Corona, China Tempatkan 10 Juta Penduduk dalam Isolasi
Triyata mengaku terpaksa meminjam utang di 'bank tithil' itu karena untuk kebutuhan hidup, membiayai biaya kontrol mata sang anak, juga melunasi cicilan kredit milik anaknya di sebuah bank.
Beberapa bulan terakhir hidupnya semakin susah.
Karenanya, dia tidak membayar iuran BPJS Kesehatan mandirinya.
"Tidak punya uang. Untuk makan saja susah. Tidak pernah dapat bantuan. KIS tidak ada. Dulu pernah didata di kelurahan, tetapi tidak dapat apa-apa sampai sekarang," lanjutnya.
Sebelumnya, Triyata memilih menjadi peserta BPJS Kesehatan secara mandiri.
Dia menuturkan, tiga tahun silam dia pernah mendapatkan jatah beras miskin.
Dia mengaku mendapatkan tiga kali, masing-masing 2,5 Kg setiap kali dapat selama tiga kali tersebut.
Setelahnya, dia tidak pernah mendapatkan bantuan sosial apapun dari pemerintah.
"Mendapatkan BPNT, PKH, dan KIS?," tanya Surya. "Tidak punya. Tidak pernah dikasih," katanya.