Jurnalisme Warga

Filosofi Timphan dan Kembang Loyang

Di Aceh Tamiang ada makanan tradisional yang memiliki makna filosofi saat menjelang Ramadhan maupun Lebaran

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Filosofi Timphan dan Kembang Loyang
IST
HUSNI MUBARAK, M.Ag., alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry dan Anggota Komunitas Menulis Pematik, melaporkan dari Kuala Simpang, Aceh Tamiang

OLEH HUSNI MUBARAK, M.Ag., alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry dan Anggota Komunitas Menulis Pematik, melaporkan dari Kuala Simpang, Aceh Tamiang

Di Aceh Tamiang ada makanan tradisional yang memiliki makna filosofi saat menjelang Ramadhan maupun Lebaran. Makanan tradisional itu adalah timphan dan kembang loyang. Dahulu, ketika masih berumur 10 tahunan, saya merasa heran mengapa nenek di kampung selalu membuat timphan di awal Ramadhan. Begitu juga saat ketika menjelang Lebaran, selalu ada kue kembang loyang yang tidak pernah absen meskipun ada kue pendukung lainnya.

Jujur saja, awalnya saya tidak menyukai kedua kue tersebut, tapi entah mengapa kue itu selalu ada di meja makan saat awal berbuka puasa (timphan) dan saat Idulfitri tiba (kembang loyang). Ketidaksukaan saya berbuah menjadi rasa penasaran dan dengan kritis saya bertanya, "Nek, mengapa timphan selalu ada saat Ramadhan dan kembang loyang selalu menjadi sajian Lebaran kita?”

Dengan senyum nenek saya menjelaskan, "Orang dulu beda dengan sekarang. Setiap makanan yang dibuat, rumah yang dibangun, padi yang ditanam semuanya memiliki makna. Bukan sembarang buat. Timphan misalnya, makanan tradisional ini memiliki kekhususan dengan daun pisang muda sebagai pembalutnya. Sejauh ini belum ada kreasi kuliner yang membuat timphan tanpa daun pisang, jika tidak ada daun sebagai pembungkusnya maka namanya bukan timphan. Pesan moral yang bisa dipetik adalah mari kita menyambut Ramadhan seperti timphan yang membentengi diri dengan daun agar isinya masak dengan benar."

Seperti itulah hakikat berpuasa, manusia dituntut menahan diri dari hawa nafsu, menjaga diri agar tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Semua itu dilakukan agar puasa yang dijalani tidak hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, akan tetapi juga menjadi suatu ibadah yang mengantarkan manusia lebih dekat ke derajat takwa. Agar kualitas puasa sempurna, maka paling penting dalam menjaga sikap yang itu diibaratkan dengan bungkusan timphan. Semua dilakukan agar hati manusia bisa matang dengan benar. Karena salah satu fadilah puasa adalah melatih hati agar selalu terjaga dari perbuatan yang tercela.

Ketika menjelang Lebaran, juga selalu ada makanan tradisional yang tidak pernah absen di kalangan masyarakat Aceh Tamiang, khususnya mereka para tetua kampung. Kue tersebut dikenal dengan nama kembang loyang. Sebuah makanan ringan buatan tangan yang pada umumnya terbuat dari tepung cair yang digoreng. Rasa originalnya adalah manis, tapi seiring berjalannya waktu ada yang menginovasikannya dengan adonan peyek dan lainnya.

Makna filosofi dari pembuatan kembang loyang--sebagaimana petuah dari nenek--adalah motifnya yang mekar dan berbunga-bunga, seolah pribadi yang ke luar dari cetakan begitu bahagia dan bersinar. Adonan yang awalnya cair (lemah) kemudian menjadi padat (keras) setelah menjalani penggorengan dengan minyak panas.

Maknanya, seumpama umat muslim yang sudah menjalani proses pelatihan ekstra kala Ramadhan, kini pribadi tersebut layak berbahagia karena berhasil menang melawan hawa nafsunya. Dulu manusia tersebut mungkin lemah dalam mengontrol diri seumpama adonan kembang loyang yang cair, kini setelah Ramadhan (dicelupkan ke minyak), pribadinya berubah menjadi sosok yang kuat dan tegar melawan godaan dan cobaan sehingga layak disebut sebagai pemenang di hari kemenangan.

Ternyata orang tempo dulu membuat suatu makanan bukan sekadar enak rasanya saja, melainkan memiliki makna filosofis yang menyiratkan pesan moral. Bukan berarti  makanan tersebut ‘diimani’ dan menjerumuskan pada kesyirikan, akan tetapi makna pembuatan timphan dapat menjadi iktibar atau pengingat agar ketika manusia memakannya maka mereka berusaha untuk berpuasa dengan baik guna membentengi diri dari hal yang dapat mengurangi kualitas ibadah puasa.

Begitu juga terhadap kue kembang loyang, pribadi yang melihatnya semoga terispirasi untuk berbahagia di hari Lebaran dengan segala keterbatasan  yang ada. Sebuah kebahagiaan tidak diukur dari materi, melainkan hatilah yang menjadi indikatornya. Sebagai contoh, orang kaya akan merasa miskin dengan sifat tamaknya, sementara orang miskin akan selalu merasa kaya dengan sifat syukurnya.

Definisi filosofi

Filosofi itu sejatinya perkembangan dari sebuah istilah filsafat yang pertama kali muncul dan populer di Yunani. Singkatnya, filosofi adalah dasar pemikiran mengapa sesuatu dibuat atau diciptakan. Pada masa Yunani silam, tokoh filosof (orang yang mempelajari filsafat) selalu menemukan ilmu tertentu yang diawali dari landasan filosofinya. Sampai saat ini, semua hal yang berkaitan dengan temuan sains dan teknologi tak lepas dari unsur filsafat.

Secara bahasa, filsafat (dalam bahasa Arab adalah falsafah dan dalam bahasa Inggris adalah philosophy) berasal dari bahasa Yunani. Kata ini terdiri atas kata ‘philein’ yang berarti cinta (love) dan ‘sophia’ kebijaksanaan (wisdom). Secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dalam arti yang mendalam. Seorang filosof (philosopher) adalah pecinta, pendamba, dan pencari kebijaksanaan (kebenaran).

Secara etimologis, kata filsafah memberikan pengertian cinta kebijaksanaan.  Ada dua arti secara etimologis yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafah mengacu pada asal  kata  philein  dan sophos, artinya hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat).

Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata  philos dan sopia, artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda). Sederhananya, bijaksana sebagai kata sifat berarti menunjukkan pada karakter seseorang yang bersifat bijaksana. Bijaksana sebagai kata benda lebih condong kepada oknumnya yang mana secara kasatmata terlihat sebagai sosok manusia yang bijak.

Orang terdahulu selalu memberikan contoh yang filosofis saat mendidik. Ketika murid atau anaknya bertanya, para guru tidak langsung menjawab secara langsung, tetapi memberikan stimulasi agar sang murid berpikir sendiri sebelum menemukan jawabannya. Ketika seorang anak manusia menemukan kebenaran setelah ia berpikir serius, maka diyakini bahwa ilmu itu akan lebih berbekas dan tersimpan lama dalam pikirannya kelak.

Sama halnya seperti seorang ahli telekomunikasi (IT) yang belajar sendiri (autodidak), kabarnya mereka yang mempelajari dengan metode tersebut lebih cerdas dan memahami secara kompleks dibanding ahli telekomunikasi yang memiliki guru atau membaca buku.

Begitu juga cara orang tua dalam membuat sesuatu termasuk makanan, mereka banyak mempertimbangkan aspek spiritual yang diyakini dapat mendatangkan kebaikan dalam konteks pengalaman yang sudah  mereka jalani. Namun sayang, budaya berpikir orang tua yang kental akan nilai moral semakin hari semakin tergerus oleh zaman. Hadih Madja  misalnya, sebuah nasihat orang Aceh yang begitu populer di masa kerajaan silam. Setiap katanya selalu memiliki nasihat dan petuah yang positif, namun anak zaman now  lebih suka mengikuti budaya milenial karena dianggap keren dan populer. Ya, begitulah adanya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved