JURNALISME WARGA
Agar Tak Jatuh Terkulai karena Corona
Pertama kali membaca berita tentang virus Corona lima bulan lalu, hati saya deg-degan, gelisah mulai melingkupi diri
AFRIDANY RAMLI, anggota FAM Indonesia, nomor Id Card 2190U, melaporkan dari Pidie
Pertama kali membaca berita tentang virus Corona lima bulan lalu, hati saya deg-degan, gelisah mulai melingkupi diri. Saya terpaku cukup lama atas berita kematian yang terus bertambah setiap hari di seluruh penjuru dunia tersebab virus yang belum ditemukan vaksinnnya ini.
Lalu dengan segenap perasaan takut, saya coba googling beberapa artikel. Alhamdulillah, barulah kegelisahan saya mulai reda, meski segenap tubuh dan jiwa sempat gemetaran.
Saya membaca serius berita tentang kematian di Wuhan, Cina. Kemudian jenis virus dan artikel kesehatan lainnya, tak terkecuali protokol kesehatan yang ditetapkan WHO juga Pemerintah Indonesia. Kemudian, berita yang sangat menyentak nurani saya adalah laporan Washington Post bahwa virus corona adalah senjata biologis Amerika untuk menghancurkan Cina. Benarkah?
Secara logika ya masuk akal juga. Terlebih jika dikaitkan dengan situasi perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat yang merupakan musuh bebuyutan di dunia. Saya melakukan analisis jangka panjang dan jangka pendek. Paling kurang nanti saya tahu apa penyebab pandemi ini sebenarnya. Oleh karenanya, saya rutin mengikuti setiap perkembangan berita terkait Covid-19 tak terkecuali dari rekan-rekan di Facebook.
Jujur saja, hari-hari yang saya lalui belakangan ini diwarnai perasaan cemas dan khawatir. Namun, saya serius membaca kebijakan pemerintah dan mendengar imbauan para alim ulama. Dengan demikian, setidaknya saya bisa menempatkan diri pada posisi yang seharusnya terhadap pandemi global ini.
Di tengah membanjirnya informasi terkait corona di daerah kami, Pidie, saya putuskan bahwa keselamatan diri dan keluargalah yang harus saya utamakan. Saya bersyukur pada media mainstream yang telah mendorong saya untuk sampai ke sebuah solusi terbaik. Barangkali hal-hal urgen yang menjadi isu dalam masyarakat bisa menjadi asumsi dan dasar bagi saya dalam bertindak demi keselamatan. Mengutamakan keselamatan merupakan inisiatif paling tepat bagi diri saya sendiri dan keluarga di masa pandemi yang entah kapan akan berakhir ini.
Saya juga kaget saat mendengar kabar bahwa pemerintah di beberapa negara mulai melakukan lockdown. Pemerintahan sejumlah negara panik. Seakan tak tahu harus berbuat apa ketika jumlah rakyatnya yang positif terus meningkat, demikian pula jumlah kematian akibat corona. Dunia seakan gelap. Cina, Amerika, Italia, Jerman, dan Rusia merasakan dampak Covid-19 yang luar biasa. Saya terus melakukan analisis jangka panjang, apa gerangan yang sedang dihadapi dunia?
Saya terus saja mencari tahu dari berbagai media, kajian, pendapat, dan mengendapkannya dalam pikiran saya. Apakah ini yang disebut dengan pemusnahan massal manusia? Ah, tidak mungkin, ini hanya bagian kecil dari kiamat yang Allah telah janjikan.
Dalam kecemasan dan ketakutan yang memuncak, saya coba menganalisis kondisi di sekitar. Saya cermati apa yang dilakukan orang-orang pada kondisi seperti ini justru pada saat jiwa saya benar-benar down. Tapi, prinsip dan pikiran paradoks saya melawan kegelisahan demi keselamatan diri jika suatu ketika benar musibah itu tiba di tempat kami.
Terus terang, pada saat itu yang saya pikirkan adalah ekonomi rumah tangga saya yang sedang tidak stabil. Sebab, baru-baru saya sedang bangkit dari keterpurukan ekonomi. Ekonomi saya baru pulih kembali setelah sekian lama bangkrut dari usaha. Barangkali di sini saya bisa menetralisir kembali kehidupan rumah tangga. Namun, corona membadainya. Jiwa saya terempas, dan saya jatuh terkulai karenanya.
Meski demikian, saya tetap berjalan meretas waktu. Saya mulai bersikap tak peduli. Saya tetap melewati segalanya dengan hati-hati. Orang-orang pemerintahan mulai menyisir perkampungan daerah tempat kami tinggal. Saya berniat agar tetap bisa bekerja seperti sediakala. Soalnya, sehari-hari saya harus menutupi kebutuhan rumah tangga. Jika lockdown mematikan segala lini kehidupan seperti konflik dulu, saya pasti tak akan kuat melewati kehidupan. Soalnya, setiap hari saya harus membeli kebutuhan anak-anak, makan, dan segala perlengkapan lainnya.
Saya harus ambil dari mana biaya tersebut? Maka, pada hari yang sama saya tetap bekerja. Saya jalani rutinitas sehari-hari dengan tetap bekerja. Setiap hari yang saya lalui selama masa pandemi ini, tak ada aral melintang, dan alhamdulillah sejak pagi sampai sore hari saya masih bisa bekerja seperti biasa. Meski pada malam hari di Aceh sempat diberlakukan jam malam, tapi tak menjadi masalah bagi keberlanjutan kehidupan keluarga saya. Apalagi sudah lama kebijakan tentang jam malam dicabut.
Sekarang saya mengikuti kabar berita kematian di daerah saya. Hanya kabar kematian yang cukup membuat saya ketakutkan. Sedangkan kondisi di luar yang sangat saya antisipasi untuk keselamatan, sudah menjadi gugus tugas orang pemerintah.
Saya juga mengikuti setiap kabar berita teman-teman di beranda Facebook dan perkembangan media online lainnya, seperti AcehTrend, Sinar Pidie, Beritakini, dan tentu saja Serambinew.com.