Kupi Beungoh
Menyoal Fasilitas dan Pelayanan di Balik Anggaran Covid-19 yang Melimpah
"Diharapkan pihak Ombudsman bisa turun kembali memeriksa SOP yang dijalankan oleh fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan penanganan Covid-19."
***
Sehari setelah inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan oleh tim Ombudsman RI Perwakilan Aceh ke beberapa Puskesmas di Kota Banda Aceh, tiba-tiba warga tersebut menerima telepon dari salah satu puskesmas.
Penjelasan yang disampaikan meralat apa yang dikatakan sebelumnya. Yang dikatakan –pascasidak Ombudsman—bahwa alat dan pelayanan yang ada di puskesmas hanya untuk melayani masyarakat di wilayah kerja mereka.
Pelayanan untuk wilayah kerja termasuk untuk unsur muspika. Tatacara untuk mendapatkan fasilitas dan pelayanan adalah dengan mendaftar terlebih dahulu untuk kemudian diteruskan ke Dinas kesehatan Kota Banda Aceh guna mendapatkan alat uji tes tersebut.
Setelah alat tes tiba, masyarakat yang tadi telah mendaftar akan dihubungi kembali oleh pihak puskesmas.
Namun yang tidak dijelaskan bagaimana syarat untuk bisa memperoleh layanan ini. Apakah seseorang harus menjadi ODP, berasal dari zona merah atau terindikasi terpapar suspect.
Melalui pesan WhatsApp dari Satgas Covid-19 Kota Banda Aceh di nomor 0811-6715-577, warga tersebut juga mendapatkan informasi bahwa rapid tes dan swab bisa dilakukan langsung ke RSUDZA Banda Aceh karena beberapa puskesmas belum memiliki alat dimaksud.
• Tambang Batu Giok di Myanmar Longsor, 162 Orang Tewas dan Puluhan Lainnya Masih Hilang
Namun ketika dikirimkan salah satu berita artikel di web Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh bahwa Puskesmas Kopelma Darussalam dan Jeulingke mempunyai alat dimaksud dan pernah menggelar tes swab masal beberapa waktu lalu, nomor pelayanan satgas tersebut tidak menjawab lagi meski pesan dibaca.
Selain menyoroti lemahnya manajemen koordinasi dan birokrasi penanganan Covid-19 di Kota Banda Aceh—sebagaimana contoh kasus yang dialami seorang warga dan sempat ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI Perwakilan Aceh—hal lain yang patut dikritisi adalah belum maksimalnya pelayanan Poliklinik Pinere RSUDZA.
Kondisi itu bisa terlihat antara lain dari sistem antrean yang masih sangat manual. Tidak ada petugas khusus yang langsung membagikan nomor atau mesin antre untuk pengambilan nomor sesuai protokol keamanan kesehatan.
Masyarakat yang sudah datang dan menunggu antrean berebutan untuk mendapatkan nomor antrean yang terbatas tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Siapa terdepan atau mempunyai tangan panjang, dialah yang akan mendapatkan nomor. Bahkan kalau sekiranya calo yang mengambil nomor tersebut, petugas tidak akan tahu.
Hal ini tetap terlihat pada sesi pembagian nomor antrean, baik pada sesi pagi, pukul 07.30 maupun siang, pukul 13.30 WIB.
• Sosok Bupati Kutai Timur Ismunandar yang Jadi Tersangka KPK Bersama Istri
Akibat sistem antre seperti ini banyak yang ‘terpaksa’ mengalah daripada ‘cari masalah’ khususnya kaum perempuan dan lansia.
Selain sistem pembagian nomor antrean yang masih konvensional, juga fasilitas yang sangat minim. Tidak ada ambulans khusus, atau kursi roda atau bahkan pendamping yang akan mendampingi para pasien suspect untuk berpindah dari IGD Pinere ke RICU Pinere yang berjarak sekitar 500 meter.
Pasien dimita berjalan sendiri di aspal yang terpanggang matahari dengan pemandu petugas keamanan di atas kendaraan roda dua di depan.