SALAM SERAMBI
Lupakan Dulu New Normal karena Belum Waktunya
HARIAN Serambi Indonesia edisi Minggu kemarin menyiarkan pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Pesiden (KSP)
HARIAN Serambi Indonesia edisi Minggu kemarin menyiarkan pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Pesiden (KSP), Brian Prahastuti yang mengakui bahwa istilah ‘new normal’ yang sering digaungkan saat pandemi Covid-19 tidak dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Indonesia.
Menurut Brian, hal itu sukar dipahami dikarenakan menggunakan diksi berbahasa asing atau memakai bahasa Inggris. Akibatnya, masyarakat menganggap normal sebagai keadaan sudah bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Hal itu diungkapkan Brian Sriprahastuti di Jakarta, Sabtu (11/7/2020).
Hal senada diutarakan Juru Bicara Percepatan Covid-19 Pusat, Achmad Yurianto pada acara launching buku Anggota Komisi lX dari Fraksi PAN, Saleh Daulay, di Jakarta, Jumat lalu.
Yuri mengakui bahwa masyarakat memang sempat kebingungan terkait pemakaian kata ‘new normal’. Untuk itu, ia berjanji akan segera mengubah diksi tersebut. Diksi pengganti yang ia tawarkan adalah adaptasi kebiasaan baru.
Sebetulnya, istilah yang ditawarkan Yuri ini sudah sering juga kita dengar. Cuma masalahnya kata “adaptasi” pun boleh jadi tetap asing di telinga sebagian warga awam Indonesia, tak terkecuali Aceh. Soalnya, kata yang bermakna “penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru” itu pun diserap dari bahasa Inggris: adaptation.
Tapi okelah, dibanding kata ‘new normal’, kata adaptasi sudah lebih lama menjadi kosakata bahasa Indonesia. Dengan demikian, menggunakan terma “adaptasi kebiasaan baru” agaknya lebih tepat dibanding ‘new normal’ karena lebih familier.
Cuma itu tadi, istilah ini sengaja dirancang dan dimunculkan setelah masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan. Akibatnya, pascamunculnya istilah ini langsung diiringi dengan pembukaan kembali berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Dari Jakarta hingga ke Aceh dan Papua kondisinya menjadi seperti itu. Orang awam menganggap kondisi yang tadinya terdampak Covid-19 sudah benar-benar normal, sudah benar-benar aman.
Istilah ini tentu saja menjebak di tengah perkembangan kasus Covid-19 yang terus meninggi dan vaksinnya belum ditemukan.
Karena menganggap kondisi sudah normal, tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap penularan Covid-9 pun jadi menurun. Publik semakin abai. Mereka yang biasanya betah di rumah kini mulai berbondong-bondong menyesaki ruang publik. Tak lagi disiplin memakai masker dan hand sanitizer.
Kebiasaan menjaga jarak atau ‘physical distancing’ serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir dirasa merepotkan dan pelan-pelan mulai ditinggalkan.
Melihat fakta bahwa penularan Covid-19 saat ini semakin meningkat maka perlu kita kampanyekan kembali bahwa pandemi virus corona memang belum berakhir. Eskalasinya malah makin meningkat. Angka kesembuhan berbanding tipis dengan angka kematian. Pemerintah pusat dan daerah bahkan terlihat keteteran menghadapi dan mengendalikan situasi yang abnormal ini.
Oleh karenanya, jangan terlalu terbius dan bergirang hati dulu mendengar istilah ‘new normal’ ataupun ‘adaptasi kebiasaan baru’ karena faktanya negara dan provinsi ini sedang memasuki gelombang kedua penularan Covid-19. Khusus Aceh hingga Mei tak dikenal adanya penularan lokal (local transmission), tapi seusai Idulfitri mulai banyak ditemukan kasus penularan lokal. Bahkan mulai bermunculan klaster-klaster penularan baru seperti di Lhokseumawe-Aceh Utara, kompleks Aspol IOM di Aceh Besar, dan yang terbaru klaster Teuku Panglima Polem di Banda Aceh.
Bukan saja jumlah yang terinfeksi terus bertambah dan angkanya sudah di atas 100 kasus, pasien Covid-19 di Aceh yang meninggal pun bertambah, sudah empat orang.
Bagi Aceh, era ‘new normal’ ini sebetulnya lebih merupakan ‘new danger’ yang menuntut kewaspadaan dari semua pihak: pemerintah, alim ulama, tokoh masyarakat, dan setiap pribadi.