Opini

Problem Akut Pendidikan Kita

Sejak tahun 2019 dengan terpilihnya menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, berbagai slogan revolusioner

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Problem Akut Pendidikan Kita
IST
Zulfata, M.Ag, Direktur Sekolah Kita Menulis

Oleh Zulfata, M.Ag, Direktur Sekolah Kita Menulis

Sejak tahun 2019 dengan terpilihnya menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, berbagai slogan revolusioner terus bermunculan. Mulai dari zonasi sekolah, sekolah terbuka, kampus merdeka, guru penggerak hingga persoalan penerimaan siswa dari sisi umur. Slogan-slogan tersebut terus menjamur pada saat Indonesia masih dalam keadaan ketidakpastian akibat covid-19.

Mencermati kondisi seperti ini, bagaimanakah semestinya grand desaign mengelola pendidikan bangsa ini? Memang tak mudah untuk mendeskripsikan grand desaign pendidikan bagi Indonesia. Namun upaya untuk menjaga haluan pendidikan Indonesia adalah suatu keniscayaan agar sistem dan haluan pendidikan bangsa Indonesia tidak keluar dari falsafah pendidikan oleh the founding fathers.

Satu dari sedemikian the founding fathers tersebut adalah Ki Hadjar Dewantara, yang tidak hanya menyatakan bahwa prinsip pendidikan bangsa Indonesia adalah proses memanusiakan manusia, bukan menciptakan ketergantungan manusia pada material. Konkretnya, Ki Hadjar Dewantara terus menciptakan pola pendidikan bangsa melalui gerakan taman siswa yang syarat dengan proses pendidikan dalam melawan praktik kolonialisme dan imperialisme. Beginilah grand desaign pendidikan prakemerdekaan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara.

Benar bahwa realitas pendidikan masa kini jauh berbeda dengan masa Ki Hadjar Dewantara, perbedaan tersebut dapat ditemukan pada faktor global dan iklim politik bangsa waktu itu yang masih dikekang kolonial Belanda. Namun demikian, falsafah pendidikan masa lalu sejatinya masih menjadi tumpuan bagi pendidikan hari ini. Artinya bagaimanpun tantangan pendidikan yang terjadi pada masa kini, falsafah pendidikan Indonesia telah sempurna didudukkan Ki Hadjar Dewantara. Atas faktor inilah Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai bapak pendidikan Indonesia.

Menjadikan gerakan pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai pisau analisa memahami pendidikan hari ini bukan berarti kita ingin kembali pada masa lalu, tetapi menjadikan kesuksesan pendidikan masa lalu untuk memperkuat pendidikan masa kini untuk pencerahan pendidikan masa depan. Disadari atau tidak, kehadiran Mendikbud Nadiem Makarim dengan gerakan rekonstruksinya secara tidak langsung Indonesia berada di persimpangan arah pendidikan.

Dari sinilah publik masih bingung seperti apakah pendidikan yang diinginkan Mendikbud Nadiem Makarim. Kebingungan tersebut terjadi karena Nadiem Makarim terkesan memiliki kemampuan menciptakan konsep, namun rapuh pada proyeksi terapan konsep yang ditawarkannya. Sehingga slogan-slogan pendidikan terkesan menumpuk dan memicu permasalahan baru di lapangan.

Persoalan ini mengingatkan penulis pada hasrat Presiden Joko Widodo  pada saat menginginkan sosok Mendikbud yang mampu menciptakan grand desaign dan sistem pengelolaan pendidikan bangsa berbasis teknologi. Karena dengan kekuatan teknologi diyakinkan mampu mendorong peningkatan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Intinya, Presiden Joko Widodo menginginkan penerapan pendidikan secara adil tanpa terdiskriminasi oleh persoalan jarak jauh dari ibu kota negara.

Dalam konteks ini, penulis ingin menghubungkan antara keinginan Presiden Joko Widodo dengan kinerja Mendikbud Nadiem Makarim dengan indikator penilaiannya adalah falsafah pendidikan yang diciptakan Ki Hadjar Dewantara. Seiring berjalan waktu, Mendikbud Nadiem Makarim bukan saja ditantang untuk merekonstruksi sistem pendidikan yang dianggap kaku oleh rezim sebelumnya. Seperti menghapus Ujian Nasional (UN) bagi siswa, dan membuka peluang bebas memilih mata kuliah dengan konsep kampus merdeka bagi perguruan tinggi.

Seiring tantangan rekonstruksi pendidikan itu pula Mendikbud Nadiem Makarim ditantang menghadapi dampak pandemi terhadap dunia pendidikan. Dalam hal ini tentunya permasalahan bertambah rumit, sebab bukan saja soal rekonstruksi, tetapi juga persoalan ekonomi, kesehatan, dan juga ruang gerak masyarakat. Atas fakta seperti ini, Mendikbud sempat melontarkan pernyataan "Saya frustasi dengan tantangan pendidikan akibat pandemi" di sela wawancara daring yang dilakukan Tempo.co (12/07/2020).

Konkretnya, berdasarkan pengamatan penulis, sejak peringatan seratus hari kinerja Mendikbud Nadiem Makarim, belum satu konsep pendidikan yang digarapnya berjalan dengan stabil, baik persoalan zonasi sekolah, kampus merdeka hingga guru penggerak. Sebagai pembantu presiden, menteri yang tergolong cukup muda ini, Nadiem Makarim tidak dapat bekerja sendiri atau dibiarkan seenak hati melakukan rekonstruksi tanpa ada upaya mengontrol dampak di kemudian hari.

Sesuatu yang direkonstruksi tanpa ada upaya indikator kontrol yang berkelanjutan, maka potensi kehancuran akan terjadi. Terlebih kekuatan politik oligarki yang hidup di Indonesia saat ini kurang mendapat tempat bagi keberlanjutan suatu kebijakan antarmenteri di setiap rezim pemerintahan. Artinya belum tentu Menteri Nadiem Makarim akan terpilih lagi jadi Mendikbud di rezim pemerintahan selanjutnya, karena menikmati hasil rekontsruksi pendidikan tidak dapat dirasakan selama lima tahun.

Parahnya, siapakah yang dapat menjamin bahwa hasil rekonstruksi Nadiem Makarim akan benar-benar bermanfaat di kemudian hari? Cukup kegagapan kita mengahadapi pandemi di negeri ini menjadi pelajaran bahwa kualitas pendidikan bangsa belum mampu memproyeksi kejadian yang dialami bangsa di masa yang akan datang. Atas ketidakjelasan arah pendidikan dan maraknya pembenihan masalah teknis di dunia pendidikan hari inilah penulis menyebutnya sebagai problem akut pendidikan kita.

Ibarat penyakit, disebut akut belum tentu kronis atau parah, tetapi itu adalah penyakit yang harus disembuhkan. Artinya, problem akut pendidikan di bangsa ini mesti cepat disembuhkan sebelum menular ke masalah lainnya yang membebani generasi selanjutnya.

Salah-satu cara untuk mencegah problem akut pendidikan tersebut adalah dengan cara sikap politik Presiden Joko Widodo, baik dengan langkah teguran atau reshuffle bagi posisi Mendikbud. Langkah seperti ini juga pernah terjadi pada menteri pendidikan jilid pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo yang saat itu dijabat Anies Baswedan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved