Anggota Dewan Gebrak Meja, Rapat Pembatalan Proyek Multiyears Berlangsung Panas
Anggota Badan Musyarawah (Banmus) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Bardan Sahidi, terlihat emosi dan memukul meja setelah adanya
BANDA ACEH - Anggota Badan Musyarawah (Banmus) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Bardan Sahidi, terlihat emosi dan memukul meja setelah adanya tolak tarik soal usulan pembatalan proyek multiyears tahun 2020-2022 senilai Rp 2,7 triliun.
Hal itu berlangsung dalam rapat Banmus yang membahas penjadwalan paripurna terhadap empat agenda, Senin (20/7/2020). Rapat itu dipimpin Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin, bersama tiga unsur pimpinan yaitu, Dalimi, Hendra Budian, dan Safaruddin.
Bardan mengklaim proyek multiyears tersebut tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh sehingga posisinya ilegal. "Yang mana sesuai dengan RPJM!" tanya politisi PKS itu sambil mengebrak meja dan melihat ke rekannya.
Bardan menyampaikan pandangannya setelah mendengarkan pendapat rekan-rekannya yang lain. Tindakan Bardan tersebut membuat anggota dewan lain terkejut.
Adapun agenda rapat kemarin yaitu membahas jadwal paripurna terhadap: (1) penyampaian rekomendasi DPRA terhadap LKPJ Gubernur Aceh tahun anggaran 2019, (2) penyampaian laporan Pansus terhadap LPH BPK RI, dan (3) pembentukan Pansus DPRA tentang: a) pembangunan gedung oncology RSUZA, b) pencairan kredit PT Bank Aceh Syariah, dan c) pengadaan barang dan jasa APBA Perubahan tahun anggaran 2019. Agenda sidang berikutnya (4) adalah persetujuan pembatalan proyek multiyears tahun 2020-2022.
Pembahasan awalnya berjalan biasa saja, kemudian terlihat alot ketika membahas penjadwalan paripurna poin ke empat. Hampir semua anggota Banmus memberikan pendapatnya. Sebagian dewan meminta pengerjaan proyek multiyears tersebut dihentikan, namun tidak sedikit pula yang mendukung. Alasan penolakan karena proses pengusulan proyek tidak sesuai dengan aturan.
Tidak Sesuai Mekanisme
Secara umum, semua anggota Banmus sepakat dengan proyek multiyears yang membangun 12 paket proyek dengan nilai Rp 2,7 triliun. Tapi yang menjadi sorotan soal nota kesepakatan bersama antara pemerintah Aceh dengan DPRA Nomor 903/1994/MOU/2019.
Kesepakatan bersama itu ditandatangani oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, dengan pimpinan DPRA periode 2014-2019 yaitu M Sulaiman (ketua) dan tiga wakilnya, Sulaiman Abda, T Irwan Djohan, dan Dalimi.
Di antara proyek tersebut yaitu pembangunan dan pengawasan ruas jalan batas Aceh Selatan-Kuala Baru-Singkil-Telaga Bakti, ruas jalan Jantho (Aceh Besar)-Lamno (Aceh Jaya), ruas jalan Gayo Lues-Babahrot Abdya, ruas jalan Peureulak-Lokop-Batas Galus.
Menurut Bardan, kesepakatan bersama tersebut tidak melalui mekanisme. Pengusulan paket multiyears itu hanya disepakati oleh pimpinan dewan periode lalu bersama eksekutif tanpa melalui pengusulan dan kajian.
Anggota Banmus dari Fraksi PA, Yahdi Hasan juga menegaskan bahwa DPRA tidak pernah menolak proyek tersebut. Bahkan semua anggota dewan mendukung terhadap proyek pengerjaan pembangunan jalan dan irigasi itu.
Menurut Yahdi, saat ini bergelinding isu di kabupaten/kota seakan-akan DPRA menghambat pembangunan Aceh. Isu itulah yang kemudian diluruskannya bahwa tidak benar DPRA menghambat melainkan mendukung pembangunan Aceh.
"Lembaga DPRA tidak pernah menolak pembangunan tapi mekanismenya yang salah. Mana mungkin kami menolak jalan tembus, tapi ada mekanisme yang tidak benar dilakukan. Ini yang kami sampaikan ke bupati dan masyarakat," pungkasnya.
Anggota Banmus lainnya, Ridwan Abubakar alias Nek Tu juga berpendapat sama. Proyek itu, menurut dia, perlu dicermati lagi agar tidak menjadi temuan hukum di kemudian hari. "Pembangunan proyek multiyears ini didukung oleh semua anggota dewan. Tapi pembahasannya tidak sesuai aturan. Pendapat saya, masalah ini kita benarkan, jangan kemudian nanti bermasalah," kata politisi Partai Daerah Aceh (PDA) itu dalam bahasa Aceh.