Seniman Berkarya
Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki: Christine "Tjoet Nja' Dhien" Hakim, Tuhan tak Suka Orang Sombong
“Tuhan sudah menulis cerita kehidupan di alam semesta ini jauh sebelum langit dan bumi diciptakan. Begitu pula dinamika kehidupan..
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - “Tuhan sudah menulis cerita kehidupan di alam semesta ini jauh sebelum langit dan bumi diciptakan. Begitu pula dinamika kehidupan di Tanah Rencong tercinta. Dari zaman keemasan Kesultanan Samudera Pasai, hingga masa konflik dan tsunami.
Ketentuan Tuhan yang Maha Esa tidak bisa kita untuk menolaknya, kecuali menerima dengan ikhlas ujian tersebut sebagai bentuk pertautan kita kepadaNya."
Itulah kalimat pembuka yang ditorehkan aktris kenamaan Indonesia, Christine Hakim dalam epilog buku "Bunga Rampai Puisi Indonesia, Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki," yang diterbitkan dalam rangka peringatan 15 Perdamaian Aceh, 15 Agustus 2020.
Puisi-puisi dalam buku dengan kurator tunggal Salman Yoga. S, itu ditulis oleh 67 penyair Indonesia berasal dari berbagai daerah.
Christine Hakim, pemeran sosok Tjoet Njak' Dhien dalam Film Tjoet Nja' Dhien arahan sutradara Eros Djarot menyempatkan diri untuk menuslikan epilog buku tersebut. sementara prolognya ditulis cendikiawan Aceh yang juga pengamat sosial politik Indonesia, Fachry Ali.
• Israel Temukan Harta Karun, Koin Emas Era Abbasiyah 1.110 Tahun Lalu
• Tanah Dalam Ambruk ke Sungai, Janda Miskin di Aceh Utara Mengungsi ke Rumah Warga
"Kita masih mengingat, 26 Desember 2004 lalu, setelah sekian lama berkubang konflik, dengan puluhan ribu korban baik lelaki dan perempuan, Aceh kembali berduka. Pesisir Aceh saat itu kena musibah tsunami yang mengakibatkan 230 ribu masyarakat meninggal dunia dan 280 ribu lainnya diberitakan hilang," lanjut Christine Hakim.
"Fase konflik ke musibah ini tentu memberikan pelajaran penting dalam perjalanan peradaban Aceh. Aceh pada masa konflik, dan masa musibah membuat Gerakan Aceh Merdeka beserta Pemerintah Republik Indonesia saat itu berdamai untuk sementara waktu, hingga mencapai titik kesepakatan damai 15 Agustus 2005, beberapa bulan setelah tsunami," Christine Hakim meneruskan.
"15 tahun setelahnya, yakni 15 Agustus 2020 perdamaian itu masih kuat mengakar. Aceh masih menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Tetap masih dalam pangkuan ibu Pertiwi. Pada akhirnya buku ini mengingatkan kita seperti yang ditulis penyair Ahmadun Yosi Herfanda dalam puisinya, sudah terlalu banyak yang pergi, cukuplah. Tak perlu kau salahkan senapan itu lagi, begitulah harapan kita," urai Chritine, yang llahir di Jambi tapi memiliki darah Minangkabau dan Aceh dalam tubuhnya.
• WhatsApp Rilis Dua Versi Beta Baru, Fiturnya Mulai dari Nada Dering, Stiker Hingga Pesan Kadaluarsa
Perdamaian, adalah barang baru dan megah yang harus dipertahankan dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. "Buku puisi ini, adalah buku puisi menyambut 15 Tahun Perdamaian Aceh, yang saya sebut sebagai pencatat riwayat bara api," tukasnya lagi.
Ada 97 puisi yang dimuat dalam buku tersebut. Menurut catatan Kuratot Salman Yoga, seluruh puisi yang terpilih semuanya merefleksikan Aceh mulai dari masa konflik, tsunami dan perdamaian.
"Buku ini merekam banyak hal, melalui kreativitas seorang penyair, rekaman yang disajikan menjadi sangat reflektif," kata Salman, pria Gayo yang berdomisili di Takengon, Aceh Tengah.
Dalam bahasa lain, Christine Hakim menyebut buku ini bisa menjadi cermin untuk mengintrospeksi diri dan membuat tetap rendah hati. "Karena Tuhan tidak suka kepada orang yang sombong," tutup Christine Hakim.
kehadiran buku ini digagas oleh penyair asal Pidie Jaya, Saifullah S yang akrab disapa Pilo Poly.