Adat Gayo
Pesan Adat Gayo, “Manat Ni Muyang Datu” Jangan Saling Caci dan Menjatuhkan
Nenek moyang orang Gayo mengamanahkan beberapa pesan yang disampaikan dalam bentuk kalimat adat atau “manat ni muyang datu.”
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Nenek moyang orang Gayo mengamanahkan beberapa pesan yang disampaikan dalam bentuk kalimat adat atau “manat ni muyang datu.” Pesan- adat itu kemudian dihimpun dan diteliti oleh Dr Joni MN MPd BI, pakar kajian bahasa dan budaya Gayo.
“Banyak pesan nenek moyang termaktub dalam kalimat-kalimat adat yang disebut dengan Peri Mestike,” ujar Dr. Joni, yang meraih gelar doktor dari Universitas Negeri Surakarta (UNS). Ia kemudian mengusulkan didirikannya Balai Bahasa Gayo, untuk menyalamatkan khasanah Bahasa Gayo.
“Pendirian Balai Bahasa Gayo saat ini diperlukan agar bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Gayo itu tetap terjaga dan terawat dengan baik, sehingga tidak terancam punah seperti yang dikhawatirkan banyak pihak selama ini,” katanya.
Karena menurutnya, hilangnya Bahasa maka hilang pula identitas Gayo.
Ayah dua anak lulusan S3 Ilmu Pragmatik ini menjelaskan bahwa saat ini ancaman terdekat terhadap eksistensi bahasa Gayo adalah kehilangan nilai dalam berbahasa.
• MATA Sebut Ada 6 Kasus Korupsi yang Mangkrak di Aceh, Sudah Disupervisi KPK
• Mobil Dinas tak Pasang Label Pemkab Aceh Singkil, Dewan: Jangan Anggarkan Dana Operasionalnya
• Wakil Ketua DPRK Aceh Besar Minta BRI Atau Bank Aceh Sediakan Mesin ATM di Simpang Lampineung-Labui
Menurutnya, nilai tersebut adalah ketika bahasa Gayo oleh penutur aslinya sejak dulu kerap menggunakan konteks eksternal dalam berbahasa.
"Nilainya itu ada dalam berbahasa bukan bahasa. Artinya di dalam berbahasa itu makna yang keluar itu tergantung konteks eksternalnya bukan internal. Kalau dalam bahasa konteksnya konteks internal," ujarnya.
Dia mencontohkan seperti saat cara orang-orang Gayo menyapa sesama dengan penggunaan bahasa yang berada di luar konteks internal bahasa tersebut.
"Contohnya orang Gayo kalau menanyakan kabar jarang dengan 'hana keber' (apa kabar) kan jarang, tapi 'kune sehat ke' (gimana sehat). Jadi seperti itu biasanya kalau orang Gayo asli. Berbahasa istilahnya," sebut Dr Joni.
Karena itu, Dr Joni, mengatakan kehadiran Balai Bahasa Gayo nantinya juga sangat diharapkan untuk dapat mengkaji kembali nilai-nilai dalam berbahasa seperti yang dijelaskan tersebut, karena pada prakteknya banyak terdapat di dalam penggunaan bahasa Gayo.
"Konteks eksternal yang seperti ini perlu kita kaji lagi di Balai Bahasa Gayo. Jadi tidak kaku hanya sekedar mengkaji statis saja. Nah inilah motivasi kita atau dorongan untuk kita kenapa harus didirikan Balai Bahasa Gayo ini," tuturnya.
Dia menambahkan bahwa dalam bahasa Gayo tidak cukup hanya mempelajari sistem bahasanya saja, tapi harus juga memahami penggunaannya.
Pria yang juga merupakan dosen di Universitas Gajah Putih Takengon ini mengatakan bahwa saat ini penutur bahasa Gayo diperkirakan masih berjumlah sekitar 360 ribu lebih.
Menurutnya, keberadaan bahasa Gayo saat ini memang belumlah terancam punah, tapi sudah mendekati ancaman tersebut.
"Hanya saja sekarang berbahasanya sudah beda, sudah banyak diterjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Gayo, bukan lagi bahasa Gayo yang asli," kata Dr Joni MN.
Butir-butir pemikiran Dr Joni itu banyak diulasnya melalui akun facebook “winkugenantan,” selain menulis di sejumlah media cetak dan media online. Ia juga menerbitkan sejumlah buku tentang adat dan budaya serta melakukan banyak penelitian adat dan budaya Gayo. Selain mengajar di Universitas Gajah Putih, Dr Joni juga aktif di Majelis Adat Gayo Aceh Tengah.
Di antara pesan nenek moyang atau “manat ni muyang datu” yang dipublikasikan Dr Joni adalah sebagai berikut, berisi “manat” agar orang Gayo tidak saling terpecah belah, tidak saling menjatuhkan, jangan saling menjelekkan, saling menjaga. Sebab Gayo itu Cuma satu, karena itu saling berpeganglah secara erat.
• Istri Menjerit Saat Pulang Kerja Malam, Terkejut Temukan Suami dan 3 Anak Gadisnya di Rumah
• Badan Usaha Ini Antusias dengan Layanan Cepat melalui CoEx
“Ku bewene sudere rum serinenku:
Konot kin penikot, naru kin penegu; besimaklumen kite urang Gayo, enti galip besisekuten sesabi diri, enti galip bererebuten, ni jema so kin nong, ni pong so kin nenong, inget-inget sebelem kona hemat jimet wan tengah ara, gelah rues ku ines keta tungku pe gelah ku pelu.
Enti be si pengkilen, enti besikoteken, meh ne bewente ara kelebihen orum kekurangen, boh be si-isinen kite. Nyawa ni ilmu i akal, nyawa ni ume pe i patal, empus mu peruluken ume pe mupematang. Morum gelah musara nanguk kite, nyawante pe gelah musara peluk, enti rusak rasik kite rum kite, buge musampe nguk kite kecalen angan kasat te.
Besijegen kite, ate rum perasanen enti sawah mukunah orum luke, ike kunul morum tertip i wan bermajelis kite, bersienimen enti sawah luke ate ni suderente. Belangi ni bene ari kerna dele corak e, besijegen kite rum kite oya tene e mulie rum o pemeliye i. Gelah bekase kite pejamuri, ke beluhi e pe boh gelah i peniyeti. Gelahi jarakan pel-oh besitipak dagu rum sesabe diri.
Gayo gere ara len Gayo oya le Gayo si mu amat mutubuh pangan murasa, enti sawah mubelah bersi, bersitunungen, bersi-enumen, rum bersi-isin kute rum kite, buge morum te kun keramat, nyawa nte musara peluk. Ko, kam - aku, kami, kite gelah musara tamunen, gere ara Gayo bur-palu, rum gere ara uke-toa. Ikenge i pantik enti neh mu gut, ike nge i pancang enti mengangik. Berijin ku tuah bahgiente.”(*)
• Rapat Kerja Komisi IV, TA Khalid Kenakan Kupiah Meukeutop Usulkan Polisi Hutan di Aceh jadi PNS
• Warga Positif Covid di Banda Aceh Terus Meningkat, Hari Ini Bertambah 29 Orang, Kadinkes Ucap Begini
• Jangan Panik saat Keracunan Makanan, Pulihkan Tubuh dengan 7 Jenis Asupan Ini