Pernikahan Gadis di Bawah Umur Meningkat Akibat Dampak Corona
Akibat pandemi virus corona, puluhan ribu gadis di Asia diyakini terpaksa melakukan pernikahan di bawah umur.
Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, jadi mereka pikir menikahkan anak perempuan mereka adalah pilihan terbaik,” ujar Rolee Singh yang terkenal aktif mengkampanyekan “1 Step 2 Stop Child Marriage” di India.
Singh melihat bahwa keluarga menganggap pernikahan anak sebagai solusi masalah keuangan mereka tanpa peduli dampakya terhadap sang anak.
“Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga—keluarga ini tidak paham konsep perdagangan anak,” tuturnya.
Seperti yang dialami Muskaan (15), dia mengaku dipaksa ibu dan ayahnya untuk menikahi tetangganya yang berusia berusia 21 tahun.
Ibu dan ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di kota Varanasi, India, yang memilki 6 orang anak untuk diberi makan.
“Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” tutur Muskaan sambil menangis.
Senada dengan Singh, Jha khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina.
“Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil,” jelas Jha.
Pendidikan jadi tameng utama
Di saat pendidikan dinilai menjadi tameng utama dalam melawan isu pernikahan anak, lockdown telah memaksa ratusan juta anak di dunia tidak sekolah.
Para aktivis pun memperingatkan bahwa anak-anak perempuan miskin menjadi pihak yang paling terdampak.
Sebelumnya, pada pertengahan bulan Agustus sebanyak 275 mantan pemimpin dunia, pakar pendidikan, dan ekonom, menyerukan agar pemerintah dan organisasi global seperti Bank Dunia memastikan agar pandemi virus corona tidak melahirkan “Generasi Covid…yang kehilangan pendidikan dan kesempatan yang adil dalam hidup.”
“Banyak dari anak-anak ini adalah perempuan yang bersekolah, yang menjadi pertahanan terbaik melawan pernikahan anak dan harapan terbaik untuk kehidupan dan kesempatan yang lebih luas,” begitu kata surat terbuka yang ditandatangani mantan Sekjen PBB Ban Ki Moon, mantan dirjen UNICEF Carol Bellamy, dan mantan PM seperti Shaukat Aziz, Gordon Brown, hingga Tony Blair.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah memperingatkan adanya potensi lonjakan kelahiran bayi (baby boom) pada awal tahun depan sebagai imbas dari pandemi corona di negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini.