Kupi Beungoh

Usul Hak Interpelasi DPRA, Dendam Pilkada belum Padam?

"Ketika Irwandi Yusuf dapat musibah dan harus meninggalkan jabatanya, sesuai konstitusi Nova Iriansyah menjabat sebagai Plt Gubernur ACeh."

Editor: Nasir Nurdin
Serambinews.com/Handover
Ghazali Abbas Adan 

Oleh: Ghazali Abbas Adan *)

DIA lagi, dia lagi. 

Inilah akting yang kerap dipertontonkan sementara anggota DPRA ketika menyoroti kinerja Plt Gubernur Nova Iriansyah yang selalu minor.

Yang paling akhir adalah usul hak interpelasi dengan muatan menggulingkan/memakzulkan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dari jabatan dan tugas-tugasnya.

Salah satu alaswannya karena tidak hadir dalam rapat di gedung perlemen Aceh meskipun ketidakhadirinya itu dengan alasan yang jelas.

Sementara anggota parlemen itu tetap menggebu-gebu disertai bahasa yang vulgar menyampaikan tuntutannya (Serambinews.com,1/09/2020).

Mereka sepertinya menutup mata terhadap Plt Gubernur Aceh dalam segala ruang dan waktu dengan sungguh-sungguh dan segenap daya upaya telah dan sedang berusaha melaksana program pemerintah Aceh dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Pada waktu bersamaan, seingat saya, sementara anggota parlemen Aceh itu tidak pernah terdengar suara apresiatif terhadap kinerja dan usaha keras Plt Gubernur dan jajarannya.

Saya kira masalah belum maksimal capaian Pemerintah Aceh tidak hanya monopoli Pemerintah Aceh saja, tetapi banyak  pemerintah daerah lainnya di Indonesia juga belum mampu melaksanakan dan menuntaskan program pembangunan sesuai yang diinginkan rakyatnya.

Apalagi dalam kondisi dan situasa berkaitan dengan musibah dahsyat penyakit corona dalam beberapa bulan terakhir yang belum bisa diprediksi kapan berakhir.

Di daerah-daerah lain tidak terdengar dahsyatnya sorotan anggota DPRD setempat  dengan bahasa vulgar dengan dalih melaksanakan hak dan tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat.

Atas dalih itu pula mereka menyoroti kinerja pimpinan daerah bahkan sampai mengeluarkan usul interpelasi dengan muatan pemakzulan. Bukan main!

Sejatinya mereka melakukan introspeksi terhadap kinerja pemerintah Aceh periode lalu yang tidaklah hebat-hebat amat.

Banyak juga program pembangunannya yang tidak dapat dilakukan, termasuk program Rp 1 juta bagi setiap keluarga di Aceh dan naik haji gratis.

Juga ketidakjelasan penyaluran, pemanfaatan dan pertanggungjawaban dana hibah Rp 650 miliar yang bersumber dari APBA untuk perbaikan kehidupan ekonomi mantan kombatan GAM di Aceh.

Meski uang itu bukan jumlah yang sedikit, namun sampai detik ini tidak pernah sekalipun terdengar suara mereka mempertanyakannnya.

Termasuk juga kinerja Malek Mahmud yang mereka dudukkan sebagai "wali nanggroe" yang setiap tahunnya menghabiskan uang rakyat puluhan miliar rupiah namun tidak memberi manfaat kepada yakyat di Aceh.

Mereka tetap menutup mata, bahkan terus membela, yang terkadang disertai dengan bahasa caci maki dan ancaman ketika ada suara yang mengkritisi sosok dan kinerja "paduka yang mulia" itu.

Berdasarkan fakta tersebut, saya menduga sementara anggota parlemen Aceh itu belum padam perasaan dendam terhadap hasil Pilkada 2017 yang dimenangkan pasangan Irwandi-Nova.

Ketika Irwandi Yusuf sebagai gubernur dapat musibah dan harus meninggalkan jabatanya, maka sesuai konstitusi secara serta merta Nova Iriansyah menjabat sebagai Plt Gubernur Aceh.

Sejauh pengamatan saya, Nova Iriansyah telah dan sedang berusaha dengan sungguh-sungguh dan segenap daya upaya bersama jajarannya melaksanakan  program pemerintah Aceh dalam upaya mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Memang belum maksimal pencapaiannya, apalagi seperti halnya di daerah-daerah lain bahkan seluruh dunia sejak beberapa bulan lalu mengalami musibah dahsyat penyakit cirona yang cukup menyita waktu, pikiran dan kerja keras menghadapi dan menanggulanginya.

Berdasarkan fakta ini pula, saya mengharapkan kiranya semua pihak di Aceh, wabil khusus anggota Parlemen Aceh.

Ketika melaksanakan hak dan tanggungjawabnya sebagai representasi rakyat agar dapat menahan diri dan menggunakan perasaan ketika mengarahkan dan mengontrol kinerja pemerintah.

Pilkada 2017 sudah berlalu dengan hasilnya yang jelas. Kendati mungkin juga jagonya belum bernasib baik, diterima dengan jiwa besar dan lapang dada.

Kini, dengan cerdas, vokus dan konsisten bekerja profesional sebagai anggota parlemen, yakni menyusun anggaran (budgeting), membuat aturan (legislasi) dan kontrol anggaran dan kinerja pemerintah.

Insya Allah dengan kebersamaan, keakraban, dan penuh akhuwwah islamiyah antara pihak legislatif dan eksekutif, akan terwujud apa yang disebut dengan kemerdekaan yang hakiki, yakni tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan.

Kalau sekiranya di antaranya masih berhasrat dan ingin berkuasa di Aceh, hendaklah bersabar apalagi pilkada 2022 sudah semakin dekat.

Tidak perlu bersikap aneh-aneh, sodok sana sodok sini.

Dari sekarang dengan cerdas, santun dan beradab persiapkan diri, dan dalam waktu bersamaan diharapkan terwujud pilkada halal, aman dan demokratis.

Lebih dari itu, pilkada nantinya tanpa "5-P", yakni Peu-yo (intimidasi dan teror), Peureuloh (merusak kantor, kendaraan, alat peraga kampanye, dll), Peungeut (manipulasi suara), Peng (politik uang), dan Poh-meupoh (membunuh pihak lawan tanding).

Insya Allah. Nashrun minallaahi wa fathun qariib. 

PENULIS adalah mantan anggota parlemen RI asal Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved