Opini
Covid-19 Vs Game Online, Bahaya Mana?
Wabah pandemi Covid-19 benar-benar sudah menganggu sendi-sendi kehidupan. Kesehatan terancam, ekonomi tidak menentu
Oleh Masrizal, Jurnalis Harian Serambi Indonesia
Wabah pandemi Covid-19 benar-benar sudah menganggu sendi-sendi kehidupan. Kesehatan terancam, ekonomi tidak menentu, dan pendidikan terganggu. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah jumlah warga yang terkonfirmasi positif kasus Covid-19 kian meningkat.
Kita tentu tidak tahu kapan wabah ini akan berakhir. Penularan wabah yang begitu cepat sudah menjadi tantangan besar bagi pemerintah, terutama dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika salah ambil kebijakan, akan jatuh ke jurang resesi yang menanti di depan mata.
Saat ini, wabah pandemi sudah merambah 216 negara dengan jumlah kasus hingga Senin (14/9/2020), sebanyak 29,1 juta orang terpapar Covid-19. Dari angka tersebut, 927.920 orang meninggal dan 21 juta orang dinyatakan sembuh.
Di Indonesia, sebanyak 221.523 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Dari jumlah tersebut, 158.405 dinyatakan sembuh dan 8.841 orang meninggal. Sementara perkembangan di Aceh, ada 2.891 kasus positif Covid-19, 700 orang sembuh dan 98 orang merengut nyawa.
Angka tersebut terus meningkat dari hari ke hari. Untuk memutuskan mata rantai penularan, sebenarnya pemerintah sudah melakukan upaya pencegahan. Misalnya meminta masyarakat menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
Bahkan, baru-baru ini Pemerintah Aceh melaksanakan Gerakan Bersama Memakai Masker (Gebrak Masker) dengan mendistribusikan 1 juta masker bantuan Presiden Jokowi ke seluruh pelosok Aceh. Kegiatan ini melibatkan semua ASN hingga guru di sekolah.
Jika kita lihat realita saat ini, semua pemangku kepentingan, khususnya di Aceh, fokus memerangi Covid-19. Berbagai cara dilakukan agar masyarakat tidak terpapar virus yang sudah mengancam kehidupan ini, meskipun ada juga warga yang apatis terhadap wabah ini.
Selain bagi-bagi masker, aksi yang gencar dilakukan pemerintah adalah penyemprotan cairan disinfektan di tempat-tempat umum hingga jalan-jalan, mencegah warga berkumpul, hingga melakukan kampanye bahaya Covid-19 melalui mimbar khutbah.
Sesungguhnya kita lupa, pada saat bersamaan kita juga sedang menghadapi wabah besar lainnya, yaitu game online. Wabah ini sama ganasnya dengan Covid-19. Ia juga menyerang mangsanya tanpa pandang bulu, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Apalagi saat ini sekolah sudah diliburkan akibat dampak Covid-19. Sistem pembelajaran yang selama ini dilakukan secara tatap muka, terpaksa diubah menjadi virtual/daring. Tujuannya agar sekolah tidak menjadi kluster baru penularan Covid-19.
Tentu kita sepakat dengan keputusan itu. Tapi hari ini kita dihadapkan dengan pemandangan mengerikan. Dimana banyak anak-anak menghabiskan waktunya dengan bermain game online. Pemandangan ini dapat kita lihat di sekitar kita. Bisa jadi dari keluarga kita sendiri.
Beberapa anak duduk di satu tempat, tapi tidak saling berbicara satu dengan lainnya. Mata dan tangannya fokus pada layar android. Bahkan, mereka tidak peduli dan peka dengan keadaan sekitar, termasuk lupa makan.
Jika sedang menyendiri, cenderung mereka berbicara sendiri saat main game. Memang saat itu ia sedang berbicara dengan kawan mainnya. Tapi saat dalam posisi seorang diri, maka akan terlihat seperti orang gila.
Kapan mereka belajar? Mereka hanya belajar saat menerima tugas dari gurunya. Waktu selebihnya, mereka habiskan dengan bermain game. Hanya setiap kali ada penugasan mereka jeda main game. Sungguh miris nasib generasi bangsa.
Padahal, pada 19 Juni 2019, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sudah mengeluarkan fatwa terkait hukum dan dampak game online seperti Player Unknown's Battlegrounds (PUBG) dan sejenisnya. Tapi, faktanya fatwa ulama tidak memberi dampak pada penikmat game.
Bahaya mana?
Wabah Covid-19 dan game online sejatinya sama bahayanya. Hanya saja, virus corona bisa langsung membuat penderitanya merasa kesakitan, hingga meninggal. Sedangkan virus game online membuai penikmatnya hingga lupa diri, waktu, dan cita-cita.
Wabah Covid-19 dipastikan bisa dihilangkan. Seperti di Cina. Meskipun awalnya virus ini datang dari Cina, tapi negara tersebut mampu melawannya dengan berbagai kebijakan negara, termasuk menciptakan vaksin.
Sementara wabah game online, apabila sudah kecanduan maka sukar dihilangkan. Dampaknya akan lebih besar dari virus corona. Generasi emas bangsa bisa bodoh dengan game online. Siapa yang rugi, bukan saja orang yang main game dimaksud, tetapi juga negara.
Dampak yang paling dirasakan saat ini dari game online, dimana anak-anak sekolah tidak lagi sibuk dengan tanggung jawabnya untuk belajar. Sejak bangun pagi, hingga tidur lagi, pikirannya hanya game. Tidak adanya pengawasan orang tua, membuat si anak kian candu terhadap game online.
Padahal sudah ada contoh bagaimana pembunuhan terjadi akibat game, anak gila akibat game, kepekaan sosial hilang akibat game, orang tua dilawan akibat game, dan banyak lagi dampak dari game. Game online bisa mengubah watak seseorang untuk melakukan seperti karakter yang ada di game.
Seperti kasus penembakan di Masjid di Christchurch, Selandia Baru pada Maret 2019. Pelaku penembakan bernama Brenton Tarrant dari Australia, melakukan aksinya sambil melakukan live streaming. Video penembakan tersebut persis mirip dengan adegan-adegan di games tembak menembak seperti PUBG.
Tapi yang kita sayangkan saat ini banyak orang tua malah membiarkan anak-anaknya bermain game dengan android. Padahal, ada banyak pengaruh negatif yang ditimbulkannya, mulai dari kesehatan, mental, watak, hingga pendidikan seorang anak.
Tak hanya kalangan anak-anak, kalangan orang dewasa hingga orang tua pun tidak bisa lepas dari pengaruh game online, mulai dari game perang hingga game yang mengandung unsur judi (meisir).
Meskipun wabah Covid-19 sedang melanda, tapi warung-warung kopi tetap penuh di Aceh. Hanya sebagian sekedar minum kopi, tapi kebanyakan memanfaatkan wifi untuk main game online.
Kondisi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Jangan sampai generasi muda Aceh lalai dengan game online. Yang pada ujungnya nanti juga menjadi beban pemerintah karena akan banyak pengangguran dan tingginya angka kemiskinan.
Penulis memberi saran kepada pemerintah, dan terkhusus kepada orang tua agar menjaga ketat masa emas anak-anaknya. Jangan sampai generasi Aceh menjadi generasi maniak game. Aceh harus bisa melahirkan generasi intelektual yang dapat bersaing dengan daerah lain.
Wabah Covid-19 tetap menjadi musuh bersama dan harus dilawan dengan patuh menjalankan protokol kesehatan. Tapi jangan lupa, musuh paling besar juga ada di sekitar kita, game online. Covid-19 hanya menular jika terjadi kerumunan, tapi games online bisa menebar virusnya walaupun sedang sendiri.
Pemerintah jangan hanya fokus mengurus masker dan striker hingga lupa mengurus soal schecter (istilah pada game online yang sedang `mewabah' di kalangan anak muda saat ini). Semoga, wabah pandemi segera berakhir di bumi Serambi Mekkah, dan virus game online menjadi perhatian bersama untuk diberantas.