Kupi Beungoh
Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital
Dulu, perpustakaan adalah jantung kehidupan kampus: tenang, berwibawa, dan penuh ide. Tapi di akhir era 2025 ini, jantung itu berdetak semakin pelan.
Oleh: Diva Nuzula
Dulu, perpustakaan adalah jantung kehidupan kampus: tenang, berwibawa, dan penuh ide. Tapi di akhir era 2025 ini, jantung itu berdetak semakin pelan.
Mahasiswa lebih memilih mencari referensi lewat situs cepat daripada tersesat di katalog digital kampus.
Yang datang ke perpustakaan kini kebanyakan mahasiswa akhir, sibuk membuka repositori, bukan lagi mencari inspirasi. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya hilang dari perpustakaan kita?
Ruang Belajar yang Mulai Sepi
Beberapa tahun terakhir, banyak mahasiswa mulai jarang terlihat di perpustakaan. Rak-rak penuh buku kini sering jadi hiasan, sementara meja baca yang dulu rebutan, sekarang malah kosong. Bukan karena mahasiswa tak butuh belajar, tapi karena cara belajar sudah berubah.
Di akhir era 2025 ini, semua terasa lebih cepat, lebih digital, dan lebih personal. Mahasiswa mencari informasi bukan lagi lewat lembar-lembar buku, tapi lewat layar ponsel dan laptop. Perpustakaan yang dulu jadi jantung kampus, kini seperti kehilangan denyutnya.
Uniknya, yang kini paling sering terlihat di perpustakaan justru mahasiswa tingkat akhir. Mereka datang bukan untuk membaca novel atau mencari ide riset baru, melainkan untuk membuka repositori kampus, mencari judul skripsi kakak tingkat, atau memastikan topik yang diambil belum dipakai orang lain.
Aktivitas seperti ini tentu tidak salah, tapi menunjukkan bahwa fungsi perpustakaan di mata mahasiswa kini makin menyempit, dari tempat belajar menjadi tempat “berburu judul”.
Baca juga: Profil Hening, Admin Medsos Wali Kota Surabaya: Lulusan Ilmu Komunikasi kini Mundur sambil Menangis
Antara Rak Buku dan Smart Data
Sekarang, dunia perpustakaan tidak hanya bicara tentang koleksi cetak, tapi juga soal data, sistem cerdas, dan algoritma.
Banyak perpustakaan di dunia mulai memakai kecerdasan buatan (AI) untuk membantu pengguna: ada chatbot yang bisa menjawab pertanyaan, sistem rekomendasi buku otomatis, hingga analisis data pengunjung untuk memahami tren bacaan mahasiswa.
Di Indonesia, konsep smart library ini sudah mulai berkembang, meski belum merata. Penelitian di UIN Raden Mas Said Surakarta (2024) menunjukkan bahwa mahasiswa lebih cenderung menggunakan bahan pustaka digital dibandingkan bahan fisik karena kemudahan akses dan efisiensi waktu.
Begitu juga dengan hasil penelitian di Universitas Sriwijaya (2023) , yang menemukan bahwa kualitas website perpustakaan digital seperti kemudahan penggunaan, kecepatan akses, dan kejelasan informasi berpengaruh langsung terhadap kepuasan mahasiswa.
Namun dalam praktiknya, banyak mahasiswa sering kebingungan saat mengakses sistem digital kampusnya sendiri. Portal jurnal lambat, akses e-book terbatas, dan tampilannya tidak ramah pengguna.
Alih-alih memudahkan, justru menambah frustrasi. Akhirnya, mahasiswa kembali ke “jalur cepat”: mencari PDF di Google atau mengandalkan situs tidak resmi yang lebih praktis. Di sinilah letak keresahannya: perpustakaan kalah cepat dari dunia luar .
Kalau dulu mahasiswa bangga menemukan buku langka di rak, kini kebanggaan itu bergeser menjadi “menemukan link jurnal gratis yang masih aktif”.
Sayangnya, sebagian besar perpustakaan kampus masih sebatas menyediakan “tautan digital” tanpa bimbingan.
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|
| Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.