Breaking News

Opini

Rekonsiliasi Aceh; Peran Wali Nanggroe  

Mendung di langit perpolitikan Aceh agaknya masih belum juga menunjukan adanya tanda-tanda akan tersibak menjadi cerah

Editor: bakri
Dr. Munawar A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, PNS Pemerintah Aceh, Tinggal Cot Masjid, Banda Aceh 

Oleh Dr. Munawar A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, PNS Pemerintah Aceh, Tinggal Cot Masjid, Banda Aceh

Mendung di langit perpolitikan Aceh agaknya masih belum juga menunjukan adanya tanda-tanda akan tersibak menjadi cerah. Bahkan, kalau kita mengikuti dan mengamati terkait dinamika politik, terutama antara eksekutif dan legislatif kita dibuat miris dengan meruncingnnya hubungan yang menjurus kepada disharmonisasi.

Sebut saja yang terakhir ketika rapat paripurna DPRA terkait Pertanggungajawaban Pelaksanaan APBA 2019, Plt Gubernur Aceh absen dalam sidang. Ketidakhadiran Gubernur yang nampaknya bukan tidak beralasan ini membuat beberapa anggota dewan berang, malah akan mencoba menempuh jalur hak interpelasi. Aroma persitegangan seperti ini dari awal sudah tercium, malah ketika mula Pemerintah Aceh Hebat dipimpin Irwandi-Nova. Artinya, keadaan yang terjadi saat ini bukanlah hal yang baru dalam blantika politik kontemporer Aceh, malah kalau kita melihat "belantara politik" jauh ke belakang, kondisi ini adalah hal biasa terjadi.

Namun terlepas dari semua itu, demi rakyat dan masa depan Aceh, keadaan ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terlalu lama, tentu semua pemangku kepentingan harus membuka ruang untuk dapat mencairkan kebekuan dan meluruskan persitegangan.

Adalah rekonsiliasi merupakan ruang yang tepat bagi Aceh saat ini. Menurud Kamus Besar Bahasa Indonesia rekonslisiasi hakikatnya proses merestorasi atau usaha memulihkan suatu keadaan agar menjadi seperti keadaan semula termasuk ikhtiar/upaya/perbuatan menyelesaikan perbedaan. Dalam bahasa agama rekonsiliasi ini sering disebut dengan "ishlah".

Nah, tulisan singkat ini, hanya memberikan sedikit gambaran terkait usaha membangun rekonsiliasi Aceh (Ishlah) dengan bercermin kepada sejarah, betapa Aceh dalam beberapa dekade yang lalu hidup dalam penderitaan. Ketika kemuncak kekecewaan masyarakat Aceh kepada Pemerintah Soekarno, pada 1953 meletus DI/TII di bawah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Perlawanan demi perlawanan dilakukan hingga akhirnya tercapai rekonslisiasi melalui Ikrar Lamteh 1957.

Dekade lalu pula kita merasakan pahit getir berlakunya Daerah Operaasi Militer, Darurat Militer, Darurat Sipil dll untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka di bawah Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Setelah sekian lama didera konflik, takdir Alllah dengan bencana gempa tsunami 2004, permasalahan Aceh dapat diselesaikan secara damai. Proses rekonlisilasi pun tercapai dengan mediasi internasional tahun 2005. Sejak saat itu masyarakat Aceh telah merasakan betapa nikmatnya kebersamaan dan perdamaian.

Seiring dengan berjalanannya waktu, keadaan Aceh terus berubah tentu dengan dinamika baik buruknya. Keberadaan Aceh sendiri dalam dinamika itu menjadi tolok ukur bagi yang lain. Samantha F. Ravich dalam The Washington Quarterly, Vol.23, No.3, h. 7, Summer 2000, misalnya mengatakan Aceh merupakan barometer bagi Indonesia mengenai apa yang akan berlaku kemudian di negeri tersebut.

Berhasil tidaknya reformasi yang sedang dijalankan di Indonesia dapat dilihat dari Aceh. Apabila pelaksaanaan reformasi di Aceh berhasil, maka bisa dipastikan pelaksanaan reformasi di Indonesia secara keseluruhan akan berhasil juga. Sebaliknya, kegagalan di Aceh akan mengakibatkan kepada hancurnya negeri tersebut. Maka tepat sekali kalau Dewi Fortuna Anwar, penasihat mantan Presiden B.J. Habibie, mengatakan: "Aceh bisa hidup tanpa Indonesia, tapi Indonesia tidak akan bisa hidup tanpa Acheh."

Persoalannya adalah tak banyak dari kita yang sungguh-sungguh mengindahkan keistimewaan ini. Apalagi di masa silam, ketika sendi-sendi kebangsaan membusuk akibat korupsi, pelecehan hukum dan pengagungan stabilatas nasional dengan kekuatan bersenjata. Pembagian hasil sumber daya alam amat tidak adil lantaran tetesan ke bawah semakin kecil. Konsekuensinya banyak orang merasa diskriminasi secara terang-terangan dan kian tak percaya kepada lembaga peradilan.

Hasilnya sekian ribu orang kehilangan nyawa tanpa sempat diperjelas kesalahannya. Sekian ribu janda tanpa perhatian yang serius, sekian ribu anak-anak mendadak menjadi yatim tanpa biasiswa sekolah, dan sekian ribu pula orang terluka tanpa biaya pengobatan. Sementara sekian ratus ribu lainnya mendapatkan cedera di lubuk hati. Pada saat itu seolah sebutan istimewa menjadi tanpa makna.

Sekilas gambaran di atas bukan untuk membuka luka lama, namun hanya sebagai usaha melawan lupa bahwa di negeri ini ketika konflik mendera, masyarakat hidup tanpa tempat mengadu, penuh nestapa, dan dalam keadaan serba salah. Kondisinya saat itu tepat tergambar dalam pribahasa; "Ta ek u gle jikap le rimeung, Ta treun u krueng jikap le buya, Tajak u laot jitoep le parou, Ta wo u nanggroe jipoh le bangsa" (Naik ke gunung diterkam harimau, Turun ke sungai dimakan buaya, Pergi ke laut ditikam pari, Pulang ke negeri dibunuh bangsa sendiri).

Dekade sejarah konflik tersebut, harus menjadi cermin sekaligus semangat bagi seluruh masyarakat terutama pemangku kepentingan di negeri ini (eksekutif dan legislative) untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik. Karenanya, penulis mengajak perbedaan dan persitegangan yang terjadi segera dicari solusi agar tidak meruyak dan berdampak buruk bagi masyarakat.

Kalau konflik 30 tahun antara GAM dengan Pemerintah dianggap "konflik vertikal" dan di sana ada mediator internasional untuk proses rekonsiliasi, maka sangat patut penulis mendorong Lembaga Wali Nanggroe (LWN) Aceh untuk mengambil peran dalam proses rekonsiliasi "konflik internal" tersebut.

Karena berdasarkan sejarah, keberadaan Wali Nanggroe (WN) Aceh hakikatnya punya peran pemersatu. Sebuah potongan sejarah melukiskan, ketika perang sedang berkecamuk di Banda Aceh, sebagai bagian strategi perang seluruh Anggota Parlemen, Ketua Adat, Sultan sementara (karena ketika itu Sultan Muhammad Daud Syah baru berumur 11 tahun), Malikul Adil hijrah ke Pidie. Untuk tujuan melanjutkan perlawanan, pada 28 Januari 1874, Tuanku Raja Keumala di hadapan Majelis memberikan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada Teungku Chik di Tiro Muhammad. Secara legitimasi Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman selaku penanggung jawab dan berkuasa penuh sebagai Wali Nanggroe Aceh Pertama.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved