Opini
Rekonsiliasi Aceh; Peran Wali Nanggroe
Mendung di langit perpolitikan Aceh agaknya masih belum juga menunjukan adanya tanda-tanda akan tersibak menjadi cerah
Kemudian secara turun temurun dipangku oleh anak cucu Beliau, Teungku Muhammad Amin (WN II) disusul Teungku Abdussalam (WN III), Teungku Sulaiman, (WN IV), Teungku Ubaidillah (WN V), Teungku Mahyiddin, (WN VI) dan Teungku Mu'az (WN VII), dan Teungku Hasan Tiro cucu Teungku Chik sebagai orang yang meneruskan perjuangan keluarga di Tiro sebagai WN VIII. Sementara Teungku Malik Mahmud Al-Haytar sebagai WN IX dinobatkan oleh anggota parlemen Aceh dan menurut penulis hampir berbanding lurus dengan sejarah pengangkatan Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman sebagai WN I.
Berdasarkan latar belakang sejarah, keberadaan WN punya peran yang kuat sebagai pemersatu. Bahkan secara legal formal disebutkan bahwa prinsip dan tujuan LWN yang dipangku Teungku Malek Mahmud Alhytar berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 adalah sebagai pemersatu yang independen dan berwibawa, pembina keagungan Dinul Islam, mempersatukan rakyat Aceh dan meninggikan agama Islam
Pada titik ini, merujuk sejarah dan Qanun tersebut, sejatinya Lembaga Wali Nanggroe harus berperan penuh dalam mempersatukan masyarakat Aceh. Dalam kontek itu, Wali Nanggroe harus berupaya menjadi "Wiseman" dalam rangka menciptakan harmonisasi antara eksekutif dan legislatif Aceh. Upaya ini harus dioptimalkan agar mendung di langit perpolitikan Aceh segera tersibak menjadi cerah. Nah Allahu alam.