Kupi Beungoh

Visi Aceh Berkelanjutan Tidaklah Sederhana

Sepertinya slogan “Aceh Islami, maju, bermartabat, dan berkelanjutan” terdengar visioner dalam rapat RPJM.

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis, Staf Pengajar/dosen di kampus swasta di Banda Aceh. Riwayat pendidikan: Alumni Magister Administrasi Publik UGM. 

Oleh: Akhsanul Khalis 

Salah satu desa di Aceh Timur, aktivitas warganya seketika berubah jadi mimpi buruk.

Bau menyengat menembus rumah-rumah, anak-anak dan orang tua tiba-tiba sesak, muntah, lalu mengungsi ke kantor camat. Warga menduga sumbernya dari sumur minyak perusahaan yang beroperasi tak jauh dari pemukiman.

Di Pidie, kebun ditinggalkan karena gajah liar merusak pisang, cokelat, kopi, hingga padi hutan yang menyempit memaksa satwa keluar, bahkan menelan korban jiwa. 

Di daerah lain, sungai keruh tercemar tambang emas ilegal, bantaran terkikis banjir, hutan digunduli atas nama ekonomi rakyat.Data resmi menunjukkan: dalam dua dekade terakhir Aceh kehilangan hampir 700 ribu hektare hutan; konflik gajah dengan manusia mencapai 535 kasus; sejumlah DAS dinyatakan rusak akibat abrasi dan tercemar merkuri. 

Potret buram ini menampar wajah cita-cita pembangunan berkelanjutan. Sepertinya slogan “Aceh Islami, maju, bermartabat, dan berkelanjutan” terdengar visioner dalam rapat RPJM. Namun di lapangan yang nyata justru masyarakat teralienasi (terasing), kehilangan ruang hidup akibat kian rapuhnya ekologis. 

Baca juga: Menyelamatkan Generasi dari Ancaman Kehamilan Remaja

Menyederhanakan realitas

Masalahnya bukan pada ketiadaan rencana. Hampir setiap pejabat bisa mengutip program ekonomi hijau dengan fasih. Tetapi rencana yang indah itu kandas dalam labirin birokrasi.

Implementasi tersandera prosedur. Dokumen harus lengkap, tanda tangan harus berjenjang, laporan harus rapi dan teratur. Dampak siklus birokrasi yang rigid itu, alhasil semua program kemudian disederhanakan. 

Disinilah Tania Li, antropolog Kanada yang dua puluh tahun meneliti model pembangunan Indonesia, menjadi sangat relevan. Ia menyebutkan konsep rendering dalam bukunya The Will to Improve: negara hadir dengan niat memperbaiki, tetapi dalam praktiknya, realitas yang kompleks disederhanakan menjadi persoalan teknis.

Rendering membuat masalah nyata terlihat rapi di atas kertas, tetapi kosong di lapangan.

Tambang menjadi potret paling jelas dari kontradiksi kebijakan pembangunan. Pemerintah kerap menyederhanakan kompleksitas persoalan dengan dalih membuka lapangan kerja. Izin eksploitasi diberikan begitu saja, tanpa kalkulasi jangka panjang.

Akibatnya, air tercemar, tanah kehilangan kesuburan, dan udara dipenuhi debu. Masyarakat di sekitar tambang justru menanggung risiko kesehatan dan lingkungan yang tidak pernah masuk dalam neraca keuntungan perusahaan (eksternalitas negatif).

Akhirnya Kapitalisme bekerja dengan sempurna: keuntungan dimonopoli oleh segelintir modal, sementara kerugian ditanggung jawabkan ke publik.

Ironisnya, situasi tidak jauh berbeda dalam praktik tambang rakyat. Meski lebih kecil skalanya, kehidupan pekerja tambang tetap pas-pasan.

Mereka bergantung pada tengkulak, bekerja keras di lubang-lubang sempit, namun penghasilan yang diperoleh jauh dari kata sejahtera. Artinya, baik dalam tambang industri besar maupun tambang rakyat, janji peningkatan kesejahteraan selalu meleset dari kenyataan.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved