Kupi Beungoh

1,3 Juta Laptop untuk Pendidikan VS Multi Years (Bagian II), Selamatkan Seuhak dan Jutaan Anak Aceh

Bagi Seuhak dan 1.2 juta temannya, termasuk siswa siswi, 6 bulan yang telah dilayani adalah neraka awal perjalanan masa depan mereka.

Editor: Amirullah
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Ini adalah bagian kedua dari dua artikel Prof Humam Hamid tentang penanganan Covid-19 di Aceh. Bagian pertama dapat dibaca di SINI

 Oleh: Ahmad Humam Hamid*)  

Sebenarnya tanpa Covid-19 dan daring pun Aceh punya masalah besar dengan pendidikan.

Berbagai indikator pendidikan nasional cenderung menempatkan Aceh berada pada posisi tertinggal, bahkan tertinggal parah, walaupun anggaran pendidikannya “wah”untuk ukuran provinsi 5 juta penduduk.

Kabar terakhir bahkan membuat kita miris, karena nilai ujian masuk perguruan tinggi siswa SMA Aceh tahun 2020 tertinggal dari dua “provinsi Koteka”, Papua dan Papua Barat.

Sebenarnya semua itu bukanlah sesuatu yang mengada-ngada, karena fenomena itu terbukti dengan data Kemendikbud 2018 yang menyebutkan hampir 2 500 SD, SMP, dan SMA yang tersebar di seluruh Aceh berada dalam status sangat tertinggal atau tertinggal.

Sesuatu yang sangat tragis bila dbandingkan dengan curahan Trilunan dana pendidikan seperti yang diamanahkan dalam UUPA no 11/2006

Polisi Gerebek Gudang Kondom Bekas, Ternyata Didaur Ulang dan Ratusan Ribu Siap Dijual

5 Bahan Alami Kaya Vitamin E Ini Dapat Membantu Pertumbuhan Rambutmu

Menjijikkan, Pabrik Roti Ini Gunakan Air dari Toilet, Tempat Penyimpanan Dipenuhi Kotoran Tikus

Covid-19, Sekolah, dan Digitalisasi Gampong

Bagi Seuhak dan 1.2 juta temannya, termasuk siswa siswi, 6 bulan yang telah dilayani adalah neraka awal perjalanan masa depan mereka.

Bayangkan saja asumsi yang paling optimis Covid-19 ini akan selesai dalam tempo dua tiga tahun, sementara kalau kita perhatikan saat ini Pemerintah Aceh belum menunjukkan tanda-tanda untuk menganggap ini sebagai hal yang sangat serius.

Tanda tanda yang paling “zaif” tentang perhatian untuk pendidikan pada masa Covid-19 sama sekali belum tampak.

Dipastikan, paling banyak hanya sekitar 20 persen guru- yang muda-muda, yang mampu menerapkan proses belajar mengajar daring, itupun mungkin baru memenuhi sedikit atau sebagian kelengkapannya.

Di kalangan siswa, jangankan menyebut ketersedian alat-walau hp sekalipun, yang sudah punya hape pun masih bermasalah dengan ketersambungan.

Pilihan antara membeli hape, membeli pulsa untuk sekolah anak, apalagi untuk anak yang lebih dari satu menjadi persoalan tersendiri bagi kelurga miskin, teutama di pedesaan.

Jutaan keluarga seperti keluarga Seuhak bertebaran di seluruh Aceh yang sedang berjuang untuk kehidupannya yang semakin rumit.

Memang benar hampir semua tampong di Aceh terkoneksi dengan jaringan internet hari ini.

Namun, apakah untuk sebuah program mencerdaskan anak bangsa di sebuah pvopinsi kluster “termiskin” di Indonesia para keluarga sanggup membeli alat sekaligus biaya ketersambungan daring sekolah anaknya.

Ini persoalan serius, ini persoalan digitalisasi pedesaan yang juga seharusnya punya aspek kemerataan.

Tepatnya ketimpangan akses digital antara sesama anak bangsa, terutama dalam proses pendidikan, haruslah diwujudkan dengan “pemerataan digital”.

Sukar membayangkan kalau pemerintah terus membiarkan, dengan tidak mengerjakan sesuatu yang berarti untuk menyelamatkan murid dan siswa siswi seluruh Aceh.

Kalau tidak ada sesuatu yang sangat strategis yang dikerjakan oleh perintah daerah untuk mengatasi tantangan sekolah hape, berarti pemerintah daerah secara sangat sadar telah mensponsori pembodohan murid dan siswa siswi Aceh secara sangat transparan.

Kalau APBA tahún 2021, Gubernur Nova tidak menangani persoalan sekolah daring murid dan siswa se Aceh secara serius, maka ia sedang membuat dua proyek “multi years” sekaligus.

Yang pertama proyek “multi years “infrastruktur dan yang kedua “multi years” pembodohan generasi masa depan Aceh.

Polisi Gerebek Gudang Kondom Bekas, Ternyata Didaur Ulang dan Ratusan Ribu Siap Dijual

Menjijikkan, Pabrik Roti Ini Gunakan Air dari Toilet, Tempat Penyimpanan Dipenuhi Kotoran Tikus

Melakukan hal yang sama pada waktu yang berbeda terhadap jalan dan pendidikan akan mempunyai hasil yang sangat berbeda.

Infrastruktur jalan yang tertinggal setahun atau dua tahun tidak akan sama dengan pendidikan yang tertinggal selama satu atau dua tahun.

Terhadap infrastruktur berlaku kata tertunda, atau terlambat.

Terhadap pendidikan hanya satu atau dua kata, “bodoh berkelanjutan”.

Tidak ada istilah “tahun yang hilang" untuk konstruksi jalan, sementara jika ada tahun yang hilang untuk pendidikan murid dan siswa, maka itu tidak hanya berakibat “multi years”, tetapi “all the years of their life”, bodoh seumur hidup.

Kalau itu sempat terjadi maka Pemerintah Aceh telah berkhianat kepada UUPA, bukan hanya soal alokasi jumlah uang untuk pembangunan pendidikan setiap tahun.

Sikap seperti itu sudah menabrak pesan suci UUPA tentang “posisi” pendidikan dalam kehidupan msyarakat Aceh.

Ketika UUPA menyebutkan persyaratan prioritas anggaran untuk pendidikan, maka itu adalah pesan suci dan keras.

Dalam keadaan apapun, biasa, apalagi kritis maka prioritasnya adalah pendidikan.

Oleh karena itu, dalam keadaan seperti ini Aceh harus all out untuk mengatasi persoalan pendidikan.

Kita pernah mengalami masa suram pendidikan pada waktu konflik, tetapi seburuk buruknya pemerintahan pada masa itu, selalu saja ada yang dikerjakan yang menunjukkan penguasaan persoalan, realisasi komitmen, dan jelas kebijakan yang dijalankan.

Wacana Pajak Nol, Harga Mobil Baru Mendadak jadi Supermurah

1,3 Juta Laptop untuk Pendidikan VS Multi Years (Bagian I), Beda Cerita Mirna dan Seuhak

Kelompok Kepentingan: Bangsa Untung, Kita Untung

Apa yang terjadi dengan pendidikan Aceh hari ini, terutama bila dikaitkan dengan tantangan yang terjadi akibat Covid-19, selama 6 bulan yang lalu, jelas pemerintah daerah tidak mengetahui masalah atau tidak mau tahu tentang masalah yang dihadapi.

Ketika ada pertanyaan kepada pelaksana teknis pendidikan daerah tentang apa respons pemda dalam hal tantangan Covid-19 terhadap pedidikan, maka jawaban yang paling sering didapat adalah mengikuti petunjuk pemerintah pusat.

Itu adalah jawaban kampungan dan tidak bertanggung jawab.

Pemerintah pusat tentu saja memberikan petunjuk umum pelaksanaan pendidikan, dan sangat tidak mungkin pemerintah pusat masuk terlalu jauh terhadap-hal yang khusus dengan keragaman persoalan pendidikan di setiap daerah.

Persoalan ketidak siapan guru dalam pendidikan daring, persoalan ketidaksiapan murid dan siswa untuk memiliki alat pendidikan daring adalah dua hal yang sangat mendasar.

Selanjutnya persoalan konektivitas digital bagi sebagian siswa yang sudah memiliki alat daring “remeh temeh” seperti “hape butut”, namun tidak cukup uang untuk membeli pulsa, adalah contoh nyata yang sedikit pun belum nampak ditangani oleh pemerintah daerah.

Dalam bukunya yang menjadi rujukan banyak pemimpin hebat dunia, Homo Deus, A Brief History of Tomorrow (2015), filosof dan sejarawan terkenal Yuval Noah Harari memperingatkan tentang akan tampilnya fenomena “useless group” atau kelompok manusia tak berguna. Istilah bahasa Aceh untuk kelompok manusia ini adalah “hana pat tapakek”, “hana tatupat ngui” ataupun secara lebih sinis “hana meunafaat”
Yuval menggambarkan kecendrungan kehidupan masa depan dengan fenomena kehidupan digital dan kecerdasan buatan.

Kisah Muslim Rohingya yang Kerap Mendapat Perlakuan Buruk Militer Myanmar

Ribuan Masjid di Xinjiang Dihancurkan, Masjid Bersejarah Ini Dijadikan Lahan Parkir

Akibatnya akan ada sekelompok manusia yang tidak bisa mengerjakan apapun karena kemampuan kognitifnya rendah. Apalagi sebagian besar pekerjaan “otot” akan dikerjakan oleh robot, dan sebagian pekerjaan yang membutuhkan “kognitif” juga akan diambil alih oleh robot.

Aceh, kalau tidak segera mengambil langkah yang radikal dan berani, dipastikan akan menjadi daerah pabrik besar penghasil “useless group” manusia di masa depan.

Pendidikan Aceh yang memang tanpa Covid-19 pun sudah sangat bermasalah, apalagi dengan gelombang pandemi ini yang megoyak apapun bidding kehidupan yang berhubungan dengan makhluk yang bernama manusia.

Dalam tahun-tahun hiruk pikuk Covid-19 ini, paling kurang 3 tahun menurut para ahli, Aceh punya dua pilihan, tepatnya dua prioritas.

Melanjutkan berbagai kegiatan pembangunan, apalagi berbagai proyek multi years, yang memang ada manfaatnya, tetapi dengan harga pembodohan 1,2 juta generasi bangsa penerus masa depan.

Sebaliknya jika pilihannya adalah untuk memulai sebuah pekerjaan baru, berupaya sekuat tenaga untuk menghindari Aceh menjadi produsen “useless group” di masa depan, maka hanya ada tiga pekerjaan mendesak.
Satu, beli 1.3 juta laptop, atau tablet untuk murid, siswa siswi dan guru di seluruh Aceh.
Dua, pastikan setiap gampong, -kantor gampong, mempunyai wifi gratis dan perbanyak buat hotspot wifi publik di seluruh Aceh.

Tiga, tingkatkan kemampuan para guru sehebat -hebatnya untuk pembelajaran daring.

Pilihan itu akan memberikan reaksi keras, dan ini menuruti bahasa kampong adalah “persoalan antene”, baik pejabat publik, para tokoh, maupun aktivis.

Kalau masalah “antene”, hal itu dapat diurus, akan tetapi yang sangat sulit kalau ada “kepentingan”.
Terhadap orang-orang yang menolak ide semacam ini, ada sebuah advis.

Program ini besar, uangnya mungkin sekitar 3 sampai 4 triliun, dan ini adakah kunci untuk masa depan bangsa, sekaligus ajang kontrak yang juga cukup besar nilainya.

Ini proyek yang tidak rumit, instant, dan persis seperti pengadaan alat peraga 103 miliar temuan anggota DPRA fraksi PAN, Fuadri.

Kalau ada kelompok kepentingan yang keberatan terhadap ide penyelamatan 1,2 juta generasi penerus, kreativitas poster Pemda yang selama ini cukup bekembang harus dilanjutkan.

Tulisan di poster mungkin seperti ini bunyinya. “Selamatkan 1,2 Juta Murid dan Siswa Aceh, Biaya Sekitar 3-4 T, Bangsa Untung, Kita Untung.”

Tempelkan di sebanyak mungkin kenderaan, seperti Poster BBM dan Masker kemaren dulu. Itu saja

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved