Opini

Menjaga Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi  

Sudah hampir satu tahun kita berjuang melawan Covid-19, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda wabah mematikan ini

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Menjaga Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi   
IST
Dr. Agustin Hanafi, Lc, Ketua Prodi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Anggota Ikat-Aceh

Oleh Dr. Agustin Hanafi, Lc, Ketua Prodi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Anggota Ikat-Aceh

Sudah hampir satu tahun kita berjuang melawan Covid-19, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda wabah mematikan ini segera berakhir. Malah semakin hari kondisinya semakin mengkhawatirkan dan menegangkan, Aceh dinyatakan sebagai salah satu provinsi yang kasus Coronanya melonjak sangat tajam.

Hingga Selasa, (15/9/2020 pasien positif sebanyak 2.891 orang, sembuh 700, dan meninggal sebanyak 98 orang, bahkan sebanyak satu juta warga Aceh masuk kategori rawan. Ini merupakan rekor harian tertinggi dalam enam bulan terakhir dan menempatkan Aceh di peringkat 4 nasional dari segi penularan virus corona (Senin/14/9/2020).

Keberadaan corona sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di semua lini, bahkan dunia mengalami resesi ekonomi. Tidak sedikit program strategis pemerintah harus ditunda dan dibatalkan, banyak orang yang kehilangan lahan pekerjaan bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja, sehingga jumlah pengangguran dan rakyat miskin terus bertambah.

Tidak sedikit yang merasa cemas dan was-was akan keberlangsungan usahanya yang terancam gulung tikar. Tidak sedikit juga yang merasa khawatir tak mampu membiayai pendidikan anaknya karena harus menyiapkan paket internet setiap saat, atau cemas lantaran khawatir tak sanggup membayar cicilan kredit dan sebagainya. Keberadaan Covid-19 juga berpengaruh terhadap kehidupan berkeluarga, salah satunya masalah mendampingi anak sekolah daring di rumah. Ketiadaan Hp untuk belajar, penguasaan teknologi yang minim membuat hubungan antara anak dan orangtua bersitegang dan saling menyalahkan.

Kondisi ekonomi yang semakin sulit, membuat kerentanan terjadinya salah paham antarpasangan. Bagi pasangan yang tidak memiliki ketahanan keluarga, kondisi pandemi rentan mengakibatkan gangguang psikologis. Suami maupun istri akan mudah tersinggung, reaktif, mudah kalut dan panik, sehingga mudah fokus terhadap kekurangan pasangan yang membuat salah satu pihak kecewa dan terluka.

Merasa kurang puas dengan sikap dan peran pasangannya yang kadang dianggap lemah dan tidak sesuai harapan, bahkan ada pasangan yang kurang sabar dalam menghadapi masalah, mudah emosi, lalu cekcok. Tak sedikit pasangan ingin mengakhiri ikatan pernikahannya hanya karena persoalan sepele sebagaimana baru-baru ini diberitakan, di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, banyak warga mengantri untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, dan petugas sempat kewalahan melayani sidang gugatan cerai (Serambi Indonesia, 24/8/2020).

Permohonan untuk bercerai baik inisiatif dari suami maupun istri di Aceh juga meningkat tajam hingga tiga kali lipat dengan berbagai alasan, di antaranya faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga, dan terus menerus terjadi perselisihan. Padahal, ikatan pernikahan adalah ikatan terkuat dan tidak mudah rapuh, mempertahankannya adalah sebuah keharusan, karena akibat perceraian, yang paling menderita adalah anak-anak. Mereka akan kehilangan figur dan kasih sayang orangtuanya, sehingga berdampak terhadap psikologis dan fisiknya. Perceraian sesuatu yang halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah, dan merupakan inisiatif terakhir setelah semua cara yang ditempuh mengalami kebuntuan dan diyakini akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak jika harus bertahan.

Bahkan isyarat Alquran, perceraian sebisa mungkin diperketat, dan suami-istri dituntut banyak bersabar dan menahan diri sebagaimana Q.S. an-Nisa` 19, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut! Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". Kondisi seperti saat ini menuntut kita banyak bersabar, memiliki emosi yang matang, dan bersikap dewasa dalam menghadapi pasangan.

Tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna dan tidak ada pasangan yang benar-benar ideal memenuhi keinginan seseorang. Boleh jadi suami yang berwatak pendiam membuat istri kurang puas, tetapi suami kreatif, jujur dan penuh tanggung jawab. Atau suami merasa kecewa karena istri dianggap cerewet, namun istri begitu pintar menata rumah, merawat anak, dan ahli memasak.

Untuk itu, di masa pandemi ini jangan lagi memperparah keadaan dengan bersikap reaktif, mudah marah dan merasa kecewa, dan menyalahkan serta menuntut lebih dari kemampuan pasangan yang dapat membuat kondisi rumah tangga semakin menegangkan.

Hubungan suami-istri (terlebih) di masa pandemi seharusnya saling memotivasi, bahu membahu dan tolong menolong satu sama lain sehingga keduanya dapat terhindar dari stres. Satu sama lain merasa harus menyiptakan suasana kondusif, penuh kenyamanan dengan tutur kata yang lembut, wajah yang jernih serta berseri, memberi senyum yang tulus dan berlaku santun ketika bersama pasangan dan mendampingi anak, karena ini juga bagian dari sedekah.

Kondisi saat ini juga menuntut suami-istri agar lebih ulet bekerja, kreatif dan berusaha ekstra dalam memenuhi kebutuhan hidup, bahkan harus rela banting setir dan beralih ke profesi lain. Jangan mudah menyerah dengan keadaan, karena untuk mewujudkan keluarga samara  butuh pengorbanan dan perjuangan. Bersikaplah penuh optimis dengan berusaha dan bekerja keras demi mewujudkan mimpi-mimpi indahnya.

Tanamkan dalam sanubari, bahwa masalah yang dihadapi bukan hanya sendiri tetapi hampir semua orang mengalaminya, penderitaan yang kita rasakan sama juga dengan saudara kita yang lain. Untuk itu teruslah berjuang sambil berdoa kepada Allah agar wabah ini segera berakhir. Berhusnuzon kepada-Nya bahwa ini semua sudah menjadi takdir-Nya, maka kita dituntut semakin dekat dengan Allah sembari berikhtiar dengan menerapkan protokol kesehatan, dan ingat janji Allah "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan," (Q.S. al-Insyirah: 5-6)

Memang yang namanya kehidupan rumah tangga tak luput dari masalah, namun berkeluarga jauh lebih terhormat daripada menyandang status sendirian. Untuk itu, bagi pasangan yang belum menikah, jangan lupa mempertimbangkan kriteria kafaah yang dimiliki sang calon, yaitu pendidikan dan pengamalan ajaran agama agar mudah mengatasi masalah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved