UU Cipta Kerja
Ini 14 Aturan UU Cipta Kerja yang Bikin Buruh Cemas
RUU kontroversial itu ternyata disetujui oleh tujuh fraksi, yang mayoritas pendukung pemerintah untuk disahkan menjadi UU.
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM – Sejumlah buruh yang tergabung dalam serikat buruh di Indonesia melakukan demo disejumlah daerah di Tanah Air.
Mereka menyoroti RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menjadi Undang-Undang, pada Senin (5/10/2020).
RUU kontroversial itu ternyata disetujui oleh tujuh fraksi, yang mayoritas pendukung pemerintah untuk disahkan menjadi UU.
Ketujuh fraksi itu adalah, PDI-P, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Nasdem.
Khusus PAN menyetujui dengan memberikan catatan.
Sementara dua fraksi menyatakan menolak RUU untuk disahkan.
Kedua Fraksi ini adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Setelah anggota DPR mengesahkan RUU menjadi UU, pada Selasa (6/10/2020) para buruh melakukan ujuk rasa terkait dengan beberapa pasal yang dinilai kontroversional.
• Buruh Siap Demo dan Mogok Kerja, Tolak RUU Cipta Kerja, Ini 7 Poin Utama yang Ditolak
• Menaker Ida Fauziyah Klarifikasi Poin Tuntutan Buruh dalam UU Cipta Kerja
Terkait dengan aturan pemutusan hubungan kerja (PHK), sejumlah buruh/pekerja meminta agar tetap sesuai dengan isi yang tertuang dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan salian RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Cipta kerja, berikut pasal 154 BAB IV Ketenagakerjaan yang serambinews.com peroleh.
Terdapat 14 aturan yang mengatur PHK pekerja atau buruh.
Pasal 154
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
b. perusahaan melakukan efisiensi;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur);
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga;
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh;
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
i. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis;
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan, atau perjanjian kerja bersama;
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib;
l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Baca Juga Lainnya:
• Sejak Positif Corona, Survei Donald Trump di Pilpres AS Terus Menurun, Tercecer Jauh dari Joe Biden
• Sudah Disahkan DPR RI, Bisakah Omnibus Law UU Cipta Kerja Dibatalkan? Berikut Penjelasannya
• KABAR GEMBIRA! BLT Subsidi Gaji Rp 600 Ribu Bagi Karyawan Swasta Cair Hari Ini, Segera Cek Rekening