Breaking News

Luar Negeri

39 Negara di PBB Kecam China Terkait Muslim Uighur dan Hong Kong, Tak Ada Nama Indonesia

Dalam daftar itu, tidak ditemukan daftar negara Indonesia dan negara muslim lainnya, seperti Malaysia dan Timur Tengah.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Zaenal
Ida Marie Odgaard/Ritzau Scanpix via https://www.thelocal.dk/
Sebuah ilustrasi satire muncul di sebuah surat kabar di Denmark yang mengubah lima bintang bendera China dengan virus corona 

SERAMBINEWS.COM –  Sebanyak 39 negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani hak asasi manusia (HAM) mengutuk China karena dinilai melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis Muslim Uighur, Selasa (6/10/2020) lalu.

Mereka juga menilai China telah melakukan tindakan kerasnya terhadap otoritas Hong Kong.

Ke-39 negara tersebut antara lain: Amerika Serikat, Albaina, Australia, Austria, Belgia, Bosnia and Herzegovina, Bulgaria, Belanda, Kanada, Kroasia, dan Denmark.

Kemudian, ada Estonia, Finlandia, Prancis, Haiti, Honduras, Islandia, Iralandia, Italia, Inggris, Jepang, Jerman, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, dan Luksembrug.

Lanjut, Marshall, Monako, Nauru, Selandia Baru, Makedonia Utara, Norwegia, Palau, Poalndia, Slovakia, Slovenia, Swedia, Spanyol dan Swiss.

"Kami menyerukan kepada China untuk menghormati hak asasi manusia, terutama hak orang-orang yang termasuk dalam agama dan etnis minoritas, terutama di Xinjiang dan Tibet," kata diplomat Jerman, Christoph Heusgen atas nama 39 negara.

Untung Besar, Perusahan di China Ini Beri Bonus Mobil Baru untuk 4.116 Buruhnya

Disentil Jerman Soal Uighur di Forum PBB, China: Berhenti Campuri Urusan Kami

Dalam daftar itu, tidak ditemukan daftar negara Indonesia dan negara muslim lainnya, seperti Malaysia dan Timur Tengah yang ikut mengutuk tindakan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dan Hong Kong.

Xinjiang adalah provinsi di barat laut China, di mana Beijing telah menahan sebanyak satu juta orang Uighur di kamp-kamp yang disebut "pendidikan ulang" dalam beberapa tahun terakhir.

Heusgen mengatakan dia sangat prihatin tentang meningkatnya jumlah laporan pelanggaran HAM berat di wilayah itu.

“Ada pembatasan ketat terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan bergerak, berserikat, dan berekspresi serta budaya Uighur,” kata Heusgen, dilansir dari Voice of America, Kamis (8/10/2020).

"Pengawasan yang meluas secara tidak proporsional terus menargetkan warga Uighur dan minoritas lainnya, dan lebih banyak laporan bermunculan tentang kerja paksa dan pengendalian kelahiran paksa, termasuk sterilisasi," katanya.

Berbicara kepada wartawan setelah pertemuan tersebut, Heusgen meminta Beijing untuk menutup kamp penahanan Muslim Uighur di Xinjiang.

Dia mencatat bahwa, pada tahun lalu (2019) ada 23 negara bergabung dengan kecaman China atas masalah Uighur, dan pada tahun ini (2020), negara yang tergabung hampir naik dua kali lipat.

Terkuak! China Hancurkan Ribuan Masjid di Xinjiang, Lebih 1 Juta Warga Uighur Ditahan di Kamp

Warga Tibet China Suguhkan Makanan Dimasak Pakai Kotoran Sapi untuk Tamu, Lambang Kekayaan

“Ini menandakan bahwa ada kekhawatiran internasional yang berkembang tentang kebijakan Beijing terhadap etnis minoritas,” katanya.

Heusgen bergabung dengan utusan Inggris, Jonathan Allen, yang mengatakan bahwa China harus mengabulkan permintaan lama Komisioner Tinggi HAM, Michelle Bachelet untuk mengunjungi Xinjiang dan melihat situasi Muslim Uighur di sana.

Utusan Inggris itu juga mengutuk pemberlakuan China pada 30 Juni 2020 lalu atas undang-undang keamanan Hong Kong yang kontroversial.

Ia mengatakan bahwa undang-undang itu melanggar otonomi Hong Kong, dan mengancam hak serta kebebasan warga.

Penerapan undang-undang itu memicu protes anti-pemerintah berbulan-bulan di Hong Kong.

Sementara itu, Diplomat China, Zhang Jun, membalas dengan apa yang dikatakan ‘menargetkan Amerika Serikat’.

Tanpa membahas masalah Uighur, dia mengklaim pencapaian hak asasi manusia China yang ‘diakui secara luas’.

Zhang juga mendesak Washington untuk ‘bercemin’ terlebih dahulu, dan meminta menuntaskan permasalahan diskriminasi rasial di negaranya sendiri sebelum menyerang negara lain.

Malaysia Tak Akan Ekstradisi Muslim Uighur ke Tiongkok, Bahkan jika China Memintanya

"Jutaan orang Amerika telah berteriak 'Saya tidak bisa bernapas' dan 'kehidupan kulit hitam penting’," kata diplomat China.

Ia menyindir Amerika Serikat, yang merujuk pada unjuk rasa di AS yang meminta diakhirinya diskriminasi rasial dan ketidakadilan setelah kematian seorang pria Afrika-Amerika, George Floyd, pada bulan Mei 2020 lalu.

Zhang juga mengecam tuduhan berulang Presiden Donald Trump, bahwa pandemi virus Corona berasal dari China dan bahwa Beijing bertanggung jawab atas penyebaran global virus itu.

"Yang dibutuhkan pemerintah AS adalah merawat yang sakit dan menyelamatkan nyawa, bukan menyebarkan virus politik dan membuat masalah di mana-mana," kata utusan China itu.

China memang menerima dukungan dari lebih dari 50 negara, termasuk Iran, Korea Utara, Suriah dan Venezuela, atas otoritasnya di Hong Kong.

Sementara sekitar 45 negara lainnya menandatangani pernyataan yang disampaikan oleh Kuba, yang mendukung pernyataan Beijing bahwa, tindakan China di Xinjiang adalah bagian dari upaya kontra-terorisme dan deradikalisasi.

Para diplomat mengatakan bahwa, beberapa negara lain termasuk beberapa negara Barat, ditekan oleh China untuk tidak mendukung pernyataan kelompok 39 itu.

AS Soroti Kamp Penahanan Muslim Uighur dalam Peringatan Hari Korban Penyiksaan Internasional

Tekan Populasi Uighur dan Kelompok Minoritas, China Paksakan Aborsi dan Program KB

Amerika Serikat tidak berbicara pada sesi tersebut, tetapi menjadi bagian dari pernyataan bersama dari 39 negara yang disampaikan Jerman.

Utusan AS, Kelly Craft men-tweet keprihatinannya, dengan mengatakan,

"Situasi di Xinjiang & perkembangan baru-baru ini di Hong Kong memperjelas bahwa China telah secara langsung meremehkan kewajiban hak asasi manusia & kesejahteraan warganya."

Human Rights Watch mengatakan pernyataan 39 negara itu adalah "teguran keras" atas perlakuan brutal China terhadap Uighur, rakyat Hong Kong dan Tibet.

"Kemarahan mereka yang semakin besar menandakan kebutuhan mendesak bagi kepemimpinan PBB untuk menciptakan mekanisme internasional untuk memantau dan melaporkan situasi hak asasi yang semakin mengerikan di seluruh China," kata Direktur PBB, Louis Charbonneau. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca Juga Lainnya:

Ini Pandangan Ruben Onsu Soal UU Cipta Kerja, Jika Diposisi Sebagai Pengusaha

Kecewa DPP PAN Dukung UU Cipta Kerja, Ketua DPD PAN Kota Bandung Mundur dan Keluar dari Partai

Luna Maya Ungkap Perasaannya Saat Terjerat Skandal Video Bareng Ariel Noah

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved