Haba Aneuk

Menyuluh ke Tiap Pintu

Mereka merasa harus memaksimalkan program Belajar Dari Rumah (BDR) yang dicetuskan pemerintah, salah satunya dengan menerapkan kunjungan kerumah-rumah

Editor: IKL
Haba Aneuk | Veskadinda
Menyuluh ke Tiap Pintu 

Menyuluh ke Tiap Pintu

SERAMBINEWS.COM,- Kamis pagi (10/9/2020), tak tampak seorangpun di lingkungan sebuah Sekolah Luar Biasa Yayasan Bina Upaya Kesejahteraan Para Cacat (Bukesra). Padahal, lembaga pendidikan di Jalan Kebun Raja, Gampong Doy, Ulee Kareng ini beberapa bulan lalu selalu ramai.

Biasanya, jika melintasi sekolah tersebut, akan tampak para siswa saling bercengkerama di pekarangan. Sebagiannya menduduki kursi yang menghadap ke pagar sekolah.

Namun, rutinitas yang melantarkan riuh sepanjang hari itu, kini tak terlihat lagi. “Sejak Maret, seingat saya, sekolah mulai diliburkan,” sahut Mawardi, salah seorang guru SLB Bukesra, pekan lalu.

Pandemi menyebabkan kegiatan belajar mengajar terpaksa berhenti hingga batas waktu yang belum ditentukan. Tak hanya mendera pendidikan di tanah air, kondisi ini telah lebih dulu memengaruhi aktifitas pendidikan di seluruh dunia, seiring tren penyebaran virus Covid-19 yang makin melonjak signifkan per harinya. Pendidikan salah satu sektor yang amat terpukul.

Sadar dengan situasi genting ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menerbitkan surat keputusan bersama sejumlah kementerian lainnya terkait aktifitas belajar sekolah.

Surat itu mengarahkan pembelajaran yang disesuaikan dengan zona penyebaran Covid-19.

Catatan Kemendikbud, hingga Agustus 2020 terdapat sekitar 57 persen peserta didik masih berada di zona merah dan  oranye. Sementara itu, sekitar 43 persen peserta didik berada di zona kuning dan hijau.

Kondisi ini menguatkan kebijakan untuk menutup sementara kegiatan belajar di ratusan ribu sekolah di Indonesia.

Dampaknya, sekitar 68 juta siswa melakukan kegiatan belajar dari rumah, dan sekitar empat juta guru terpaksa melakukan kegiatan mengajar jarak jauh.

SLB Bukesra salah satu yang terdampak. Sekolah yang menampung total sekitar 150 siswa berkebutuhan khusus ini harus menghentikan kegiatan tatap muka. Tak dipungkiri, SLB dihadapkan pada situasi yang makin menyulitkan pemenuhan hak pendidikan terhadap siswa mereka yang selama ini lazim berkutat dengan keterbatasan akses dan fasilitas.

“Kalau sudah begini, tidak ada upaya lain kecuali tenaga didik harus berpikir keras menyusun cara belajar kreatif, yang tak lagi bergantung pada pertemuan tatap muka,” ujar guru mata pelajaran Bahasa Inggris ini.

Baca juga: Sanitasi Sekolah di Era Adaptasi Kebiasaan Baru

Tak mudah memang. Dari rapat sekolah, Mawardi dan 30 guru lainnya di SLB Bukesra yang membawahi SD, SMP dan SMA itu akhirnya sepakat memprogramkan kunjungan belajar ke rumah-rumah siswa. Pasalnya, program belajar daring, seperti yang banyak diterapkan sekolah-sekolah umum, terbukti kurang efektif bagi siswa disabilitas.

“Hanya SMA-nya yang bisa, dan ini lebih mudah bagi siswa tuna rungu. Kalau untuk SD dan SMP memang kita menekankan belajar langsung,” kata dia.

Menyasar siswa yang berdomisi di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar, SLB yang telah beroperasi sejak 1983 ini mulai melangsungkan Home Visit, atau kunjungan mengajar ke rumah. Namun pihaknya juga berupaya memenuhi hak belajar siswa mereka yang berasal dari kabupaten/kota lainnya, meski tak bisa optimal. Mawardi, misalnya, sempat berkunjung ke rumah salah seorang siswa di Kecamatan Jeunieb, Bireuen.

“Kunjungan semacam ini ditetapkan pihak sekolah bisa berlangsung seminggu sekali, atau sebulan dua kali, tapi lebih mudah dilakukan untuk siswa di sekitaran Banda Aceh,” ujar Mawardi.

Baca juga: Kisah Siswa di Balik Belajar Daring

Hal serupa diceritakan Aisyah, guru di SLB Yayasan Bunda Syaifullah Meutuah (YBSM) yang terletak di Lamjabat, Kecamatan Meuraxa. Mengaku sempat gamang saat pertama kali dihadapkan pada kondisi pandemi, kata dia, segenap tenaga didik lalu segera berembuk.

Mereka merasa harus memaksimalkan program Belajar Dari Rumah (BDR) yang dicetuskan pemerintah, salah satunya dengan menerapkan kunjungan ke rumah-rumah.

Ia mengamati, pengalihan aktivitas belajar mengajar ini memang tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan. Ketika kegiatan tatap muka ditiadakan, bakal banyak tantangan terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Kata Aisyah, saat kondisi normal saja siswa difabel sudah memerlukan penanganan khusus, apalagi ketika pandemi seperti sekarang.

Karena itu, para guru menganggap penting sekali berdiskusi dengan wali murid. “Awalnya kami membuat grup WhatsApp untuk memudahkan diskusi dengan orang tua siswa, selain itu kami juga datang ke rumah-rumah untuk menyampaikan informasi soal kegiatan belajar nantinya,” ujar perempuan lulusan FKIP Bimbingan Konseling Universitas Syiah Kuala ini.

Dari kunjungan itu pula, belakangan Aisyah tahu, ternyata banyak orang tua yang tidak tahu program BDR. Kata dia, sebagian orang tua siswa yang tidak memiliki ponsel pintar, lantaran keterbatasan biaya.

Untuk mengatasinya, lanjut Aisyah, sekolah yang menampung sekitar 65 siswa disabilitas ini memanfaatkan bantuan beasiswa yang diperolehnya dari instansi luar.

Biaya itu dipakai untuk membantu wali murid yang tidak mampu, “Kami mendata siapa saja orang tua yang benar-benar membutuhkan bantuan ponsel tersebut. Mereka yang rata-rata kesulitan ekonomi dan tinggal di pelosok desa.”

Menebar Optimisme ke Rumah-rumah

Kendati berkesempatan untuk mengajar secara luring, upayanya bukan tanpa hambatan. Mawardi yang fokus mengajar siswa tunarungu dan tunanetra ini mengaku siswanya sulit konsentrasi ketika belajar di rumah. Situasi di rumah, kata dia, sangat berbeda dengan sekolah.

“Ada siswa yang konsentrasinya buyar ketika dijumpai tetangga, kadang-kadang mereka malu karena tidak terbiasa diajarkan gurunya di rumah, macam-macam lah,” imbuh Mawardi.

Secara umum, kehadiran guru ke rumah-rumah siswa disambut dengan antusias. Kata Mawardi, banyak siswa yang bertanya kapan sekolah tatap muka dibuka kembali. “Mereka jadi semangat belajar setelah kami datangi.”

Kunjungan guru ke rumah siswa juga sedikit menutupi kesulitan orang tua selama pandemi. Baik Mawardi maupun Aisyah sama-sama mengakui, bahwa peralihan tanggung jawab pendidikan sekolah juga menjadi beban tersendiri bagi orang tua.

Di satu sisi, mereka bergelut dengan pekerjaan rumah tangga, sehingga kesulitan membagi waktu untuk mendampingi proses belajar anaknya.

“Jadi kalau bukan pekerjaan rumah yang telantar, maka pembelajaran anak yang terabaikan, orang tua masih sering kesulitan dalam hal ini,” kata Aisyah.

Selain itu, orang tua juga terkendala soal kemampuan menjadi ‘guru’ untuk anak mereka. Ini belum lagi jika harus memperhatikan kekhususan dari masing-masing siswa. Kemampuan mengakses pengetahuan untuk tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan sebagainya tentu berbeda-beda.

“Berbagai kendala itu yang semakin melecutkan semangat kami, para guru, untuk tetap rutin mengunjungi rumah siswa. Disana kami bisa saling berbagi, mendengar keluhan orang tua, dan setiap saat memikirkan solusi bagaimana proses belajar-mengajar antara guru, wali dan siswa ini bisa berjalan baik seperti yang kita harapkan,” tutur Aisyah.

Demikian juga bagi Mawardi. Ia berharap, kondisi pandemi dapat menjadi hikmah bagi pemenuhan hak pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Aceh.

Ia ingin perhatian terhadap disabilitas lebih ditingkatkan. Setiap melangsungkan kegiatan belajar-mengajar, Mawardi berangkat dari satu prinsip, “kita dan disabilitas tidak ada yang berbeda, mereka harus mendapat hak-hak yang sama seperti kita.”

Ia berkaca dari banyak kendala yang dialami peserta didik di sekolah umum. Keterbatasan akses internet, sarana dan fasilitas belajar yang tidak memadai, kini menjadi persoalan banyak orang tua.

“Bagaimana dengan anak-anak berkebutuhan khusus, pastinya ada beban ganda yang mereka hadapi, ini harus jadi perhatian kita bersama, saya belajar banyak hal dari sini,” pungkasnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved