Internasional
Polisi Prancis Buru Jaringan Teroris, Setelah Pemenggalan Kepala Guru Sejarah
Polisi Prancis telah melakukan serangkaian penggerebekan menargetkan jaringan teroris.
Pembunuhan itu sejalan dengan pembantaian 2015 di majalah satir Prancis Charlie Hebdo, di mana 12 orang, termasuk kartunis, ditembak mati karena menerbitkan kartun Muhammad.
Paty telah menunjukkan salah satu gambar kontroversial di kelasnya setelah memberi anak-anak Muslim pilihan untuk meninggalkan kelas.
Namun pelajaran itu tetap menimbulkan keributan.
Ayah dari salah satu murid Paty meluncurkan kampanye online melawan guru tersebut dan sekarang telah ditangkap bersama dengan seorang radikal Islam yang terkenal.
Darmanin menuding pasangan itu sebenarnya mengeluarkan fatwa terhadap guru itu.
Para pejabat menyebut dua kelompok yang akan mereka targetkan untuk ditutup, Collective Against Islamophobia di Prancis yang mengatakan mereka memantau serangan terhadap Muslim.
Dana BarakaCity, yang menggambarkan dirinya sebagai organisasi kemanusiaan.
Baca juga: Jam Malam Akibat Virus Corona Prancis Menyebabkan Keheningan Yang Menakutkan di Jalanan Paris
Dalam sebuah posting media sosial, BarakaCity menuduh Darmanin menjadi gila dan mengatakan dia mengambil keuntungan dari sebuah tragedi.
Darmanin juga memerintahkan penutupan sebuah masjid di Paris, menuduh imamnya mendorong intimidasi terhadap guru dan mempublikasikan alamat sekolah tersebut.
Sementara itu, jaksa penuntut Paris mengatakan mereka telah membuka penyelidikan ke situs web neo-Nazi Prancis yang dihosting di luar negeri yang menerbitkan ulang foto mayat Paty yang dipenggal ke Twitter oleh si pembunuh.
Guru bahasa Prancis telah lama mengeluhkan ketegangan seputar agama dan identitas yang merembes ke dalam kelas.
Seorang pakar pendidikan memperingatkan pembunuhan itu mungkin menghalangi guru menangani topik sensitif di masa depan.
"Ada banyak sekali swasensor," kata Jean-Pierre Obin, mantan inspektur sistem pendidikan Prancis.
"Kita harus takut bahwa sekarang akan ada lebih banyak lagi," ujarnya.
Tetapi Jonathan Renoir, seorang guru sejarah berusia 26 tahun di sebuah sekolah menengah pertama di Cergy dekat Paris, berkata: