Korpri

Ketum Korpri Usulkan Redesain Sistem Karier, Agar ASN Netral dan Nyaman

Sistem politik saat ini menyebabkan ASN bisa tidak netral atau dipaksa oleh sistem untuk tidak netral. Misalnya, ketika incumbent maju Pilkada lagi. 

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Taufik Hidayat
For Serambinews.com
Dirjen Zudan Arif Fakrulloh 

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) selalu menjadi isu yang mencuat setiap kali ada pilkada.

Itu sebabnya, Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Prof. Zudan Arif Fakrulloh memandang perlu merumuskan satu solusi agar tidak terulang dan tidak menimbulkan kegaduhan setiap kali ada pilkada.

"Meskipun persentasenya sedikit sekali, yakni dari 4,2 juta ASN yang tidak netral itu tidak banyak. Jumlahnya di bawah 1.000, tapi sangat noise. Menimbulkan image seolah-olah ASN itu banyak yang tidak netral," kata Ketum Korpri dalam webinar dalam rangka HUT Korpri ke-49 bertajuk 'Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak', di Jakarta, Rabu (18/11/2020).

Prof. Zudan menegaskan bahwa ASN yang netral jauh lebih banyak. "ASN yang profesional jauh lebih banyak jumlahnya dibanding yang tidak netral. Namun meskipun sedikit jumlahnya tetap harus kita tangani," kata dia.

Zudan mengajak semua pihak memikirkan sistem merit baru agar ASN tidak menjadi korban dari ritual politik lima tahunan. "Saya sebut 'ritual politik lima tahunan' karena setiap lima tahun paska pilkada terjadi tsunami birokrasi. Banyak ASN yang dicopot, banyak ASN yang nonjob," kata Zudan.

Pakar Hukum Administrasi ini mencermati, ada dua faktor penyebab ASN menjadi tidak netral, yakni faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal terjadi lantaran sistem politik yang ada menyebabkan ASN bisa tidak netral atau dipaksa oleh sistem untuk tidak netral. Misalnya, ketika incumbent maju Pilkada lagi. 

"Kalau incumbent gubernur/bupati dan wakilnya maju satu paket tidak ada pergolakan bagi ASN. Apalagi kalau menang. ASN-nya nyaman. Tetapi jika wakilnya maju, gubernur/bupati incumbent maju, birokrasi bisa terbelah," ungkap Zudan.

Sebab, masing-masing calon pejabat yang berharap menang kerap memberikan "gratifikasi politik dan jabatan".

"Nanti kalo saya menang, kamu dukung saya, kamu jadi kepala dinas pendidikan. Kamu jadi Kadinas PU, Kadinas Kesehatan. Yang tidak bergerak, tidak berkeringat biar saja di luar pagar. Begitulah bentuk gratifikasi politik," ulas profesor bidang ilmu hukum saat usia 35 tahun.

Dirinya pun menyayangkan sistem politik yang membolehkan pejabat yang tidak maju mencalonkan diri dalam pilkada namun tetap berkampanye. 

Ini banyak terjadi. Misalnya, ASN yang kepala daerahnya sudah dua periode menjabat ikut kampanye untuk calon separtainya. 

"Misalnya, ASN diperintahkan mengerjakan materi yang dikampanyekan. Kalau tidak dikerjakan dimarahi kepala daerah. Kalau dikerjakan, ya kalo calon yang didukung sang kepala daerah itu menang.. Kalo kalah, ASN tersebut bisa dinonjobkan calon kepala daerah yang menang. Ini yang menyebabkan ASN tidak nyaman. Ini perlu kita kaji," Zudan menegaskan.

Baca juga: CPNS yang Baru Lulus Akan Mulai Bertugas Januari 2021, BKPSDM Segera Usulkan NIP ke BKN

Baca juga: Tak Pakai Ahli Penerjemah, Australia Gunakan Google Translate untuk Terjemahkan Informasi Corona

Baca juga: Bupati Abdya: Pembagian Eks Lahan HGU PT CA Menunggu Peta dari BPN

Ketum Korpri ini menyampaikan regulasi yang mengatur tentang kebolehan kepala daerah/wakil kepala daerah yang sedang berkuasa cuti untuk ikut kampanye mendukung calon tertentu, itu perlu dikritisi. Sebab merugikan ASN dan menjadikan ASN terbelah.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved