Berita Abdya
Di Tengan Pandemi Corona, Omzet Penjualan Turun 40%, Produksi Sawit dan Pala di Abdya juga Turun
Omzet penjualan usaha pertokoaan di ‘kota dagang’ itu dilaporkan turun antara 30% hingga 40%, sehingga para pedagang mengeluh.
Penulis: Zainun Yusuf | Editor: Mursal Ismail
Omzet penjualan usaha pertokoaan di ‘kota dagang’ itu dilaporkan turun antara 30% hingga 40%, sehingga para pedagang mengeluh.
Laporan Zainun Yusuf| Aceh Barat Daya
SERAMBINEWS.COM, BLANGPIDIE – Usaha pertokoaan yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat di Pasar Blangpidie, Ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), sepi pembeli.
Omzet penjualan usaha pertokoaan di ‘kota dagang’ itu dilaporkan turun antara 30% hingga 40%, sehingga para pedagang mengeluh.
Bahkan, beberapa usaha, omzet turun lebih 50 persen dibanding saat situasi normal sekitar tujuh bulan lalu atau sebelum pandemi Corona Virus Desiase 2019 (Covdi-19).
Marwan, pengusaha grosir bahan kelontong di Kota Blangpidie kepada Serambinews.com, Minggu (22/11/2020), menjelaskan daya beli menyarakat turun mulai terasa sejak tujuh bulan lalu, tapi sangat terasa sekitar 2 bulan terakhir.
“Sikitar dua bulan terakhir, daya beli masyarakat turun antara 30 sampai 40 persen,” katanya.
Dampaknya, sejumlah pedagang kewalahan menutupi target pembayaran.
Baca juga: Polisi Datangkan Ahli Bahasa untuk Mintai Keterangan Bocah Bisu yang Wajahnya Dibakar Ayah
Baca juga: Gubernur Nova Resmikan Masjid Bantuan Masyarakat Aceh di Palu
Baca juga: Pria Prancis Dihukum 25 Tahun Penjara, Terbukti Membunuh dan Membakar Istrinya Sendiri
Pengakuan turun omzet penjualan juga diakui, Zakaria, toko grosir bahan kebutuhan masyarakat.
Bahkan, menurutnya, omzet penjualan turun tidak kurang 50 persen dari situasi normal awal tahun ini.
Lebih parah lagi dialami pengusaha toko pakaian atau konveksi di Pasar Blangpidie.
“Omzet penjualan turun mencapai 60 persen,” kata pengusaha toko konveksi di Jalan Selamat, Blangpidie.
Hal yang sama diakui pedagang bahan pecah belah di Jalan Pasar Baru.
Padahal, usaha pertokoan yang buka usaha di jalan tembus ke Pasar Blangpidie, dikenal padat pegunjung, namun selama bulan terakhir atau selama pendemi Corona, mulai sepi.
Padahal, sebelumnya usaha pertokoan di Blangpidie tampak ramai pengunjung pada hari libur, Sabtu dan Minggu.
Soalnya, kunjungan pada hari libur, buka saja berasal dari Abdya, banyak datag dari Labuhan Haji, Aceh Selatan dan Alue Bilie, Nagan Raya.
Akan tetapi belakangan ini, menurut beberapa pedagang, pengunjung tidak bertambah, meski pada hari Sabtu dan Minggu. Malahan, geliat kota Blangpidie tampak sampai pukul 12.00 WIB, kemudian lengang.
Indikasi turun daya masyarakat Abdya, belakangan ini terlihat dari jumlah pengunjung Pasar Blangpidie.
Pengunjung pasar berlokasi di Jalan H Ilyas, Desa Meudang Ara, tampak lumayan ramai sekitar pukul 06.30 hingga pukul 10.00 WIB, itu pun di pasar sayuran-sayuran, setelah itu sepi.
Beberapa pengusaha di Kota Blangpidie memperkirakan turun daya beli merupakan dampak pandemi Covid-19 karena berimbas kesulitan perekonomian masyarakat.
Produksi TBS sawit dan pala turun
Memang, harga TBS (tandan buah segar) kelapa sawit sebagai salah satu komuditi andalan akhirnya meningkat pada kisaran Rp 1.350 sampai Rp 1.420 per kilogram (kg) di tingkat petani.
Sayangnya, produksi TBS turun drastis mencapai 50 paersen.
Demikian juga harga komuditi pala, meskipun harga beli dari petani relatif stabil, akan tetapi produksi pala di Abdya anjlok akibat sebagian besar tanaman pala punah diserang hama mematikan.
Sehingga pala tidak lagi menjadi andalan pandapatan petani setempat.
Kondisi ini berdampak peredaran uang terbatas masyarakat terbatas atau di kalangan tertentu saja.
Sementara, di tengah pandemi Covid-19 masyarakat mengalami kesulitan menjalankan usaha sehingga mereka tidak memiliki sumber pendapatan yang jelas.
Namun, ada pula beberapa pedagang menilai, turun omset penjualan pengusaha pertokoaan di Blangpidie, juga dipengaruhi banyak pedagang menggunakan mobil box (disebut mobil kampas) turun langsung ke toko dan kios di desa-desa memasarkan berbagai bahan kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, pedagang di desa tidak perlu datang ke kota.
Selain itu, juga terjadi perubahan perilaku masyarakat tertentu untuk memenuhi kebutuhan, yaitu membeli melalui ‘toko online’ di luar daerah.
Trend membeli berbagai kebutuhan secara online tentu berdampak terhadap omzet penjualan pengusaha usaha pertokoan setempat. (*)