Kupi Beungoh
Polemik Hasil MTQ dan Introspeksi Cara Kritik Kita
“Tulisan ini kami tegaskan bukan untuk membungkam para ‘kritikus’ karena kritik adalah suplemen yang sangat dibutuhkan.”
Dari kenyataan pahit tersebut, muncul polemik di tengah masyarakat. Banyak pandangan, narasi bahkan komentar-komentar yang sangat tidak patut untuk diutarakan oleh kalangan masyarakat Aceh yang berlabelkan Serambi Mekkah.
Menurut penulis, kritik bukan sesuatu yang haram malah sangat dianjurkan agar kita bisa selalu introspeksi diri atau tidak merasa nyaman padahal kita sedang berada di jalur yang salah.
Yang tidak dianjurkan bahkan menjadi yang sangat dilarang oleh ajaran Islam adalah caci maki, kata-kata kasar, hujatan, dan sejenisnya yang ditujukan secara langsung atau tidak langsung kepada ofisial dan peserta.
Cara-cara seperti ini tentu bukan suatu solusi yang solutif, malahan semakin memperkeruh keadaan.
Kita sama-sama meyakini jika peserta yang mewakili Provinsi Aceh adalah putra-putri terbaik yang dipilih oleh para ahli di bidangnya.
Baca juga: Prestasi Aceh dan Tabel Juara MTQ Padang yang Terbalik, Saatnya Introspeksi Diri
Seharusnya sebagai masyarakat berpendidikan, tidak buta huruf dan tidak bisu serta tuli, untuk bertabayyun terlebih dahulu mengenai hasil perolehan peringkat Provinsi Aceh dalam MTQ tersebut. Kenapa sampai terjadi demikian.
Kita percaya pada dasarnya dalam sebuah ajang perlombaan tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Di tengah pandemi Covid-19 seperti ini banyak faktor yang bisa terjadi sehingga capaian tidak sesuai dengan harapan.
Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, perencanaan dan persiapan untuk menuju MTQ Nasional sangat baik dan maksimal. Berbeda dengan tahun ini, disebabkan oleh kondisi pandemi yang menyerang dunia—termasuk Indonesia khususnya Aceh—telah ikut melumpuhkan segala aktifvitas.
Terkait persiapan kafilah Aceh kali ini tidak begitu maksimal, misalnya harus berlomba tanpa pemusatan latihan atau TC yang matang. TC peserta Aceh hanya sempat dilaksanakan 12 hari dari total 40 hari yang telah direncanakan.
Dari informasi hasil tabayyun yang penulis dapatkan, TC 12 hari tersebut pun dilaksanakan pada awal masa pandemi (Maret 2020), sedangkan menjelang keberangkatan hanya sempat dilakukan dua hari saja.
Normalnya, ketika TC, peserta dikarantina dengan mendatangkan pelatih dari semua tingkatan. Namun tahun ini hal demikian tidak sempat dilakukan. Belum lagi muncul rasa rasa was-was dan ketakutan para pelatih nasional untuk melakukan perjalanan jauh ke Aceh.
Baca juga: Pelajari & Tandai Gejala Terpapar Covid-19 dari Hari ke Hari, Lakukan Cara Pencegahan Seperti Ini
Berbeda halnya dengan tuan rumah, mereka melakukan TC hampir setahun penuh, dengan mendatangkan seluruh pelatih nasional ke Kota Padang. Demikian juga dengan kafilah lain seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau. Artinya, jarak juga menjadi salah satu hambatan.
Mengenai dengan peserta yang hanya memperoleh satu juara III, bukan berarti peserta lain yang mewakili Provinsi Aceh tidak berkompeten.
Para peserta sudah tampil maksimal, namun peserta dari daerah lain, seperti tuan rumah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau (kepri), Jawa Barat dan Banten lebih baik karena persiapan mereka lebih maksimal.
Selain beberapa polemik di atas, juga berkembang komentar dan kritikan yang tidak baik mengenai Provinsi Aceh yang berada di bawah peringkat Papua.